Saturday, August 25, 2012

Review: Paper Towns - John Green

Judul: Paper Towns
Penulis: John Green
Penerbit: Speak
Tebal: 305 halaman
Tahun Terbit: 2009
Rating: 5/5
Paperback Synopsis:
Quentin Jacobsen has spent a lifetime loving the magnificently adventurous Margo Roth Spiegelman from afar. So when she cracks open a window and climbs back into his life--dressed like a ninja and summoning him for an ingenious campaign of revenge--he follows.

After their all-nighter ends and a new day breaks, Q arrives at school to discover that Margo, always an enigma, has now become a mystery. But Q soon learns that there are clues--and they're for him. Urged down a disconnected path, the closer he gets, the less Q sees of the girl he thought he knew.

.....

Sebetulnya, sebelum lebaran tiba, saya sudah selesai membaca 'Paper Towns'. Namun, karena masih harus mempersiapkan keperluan lebaran, bekal mudik, dan lain-lain, makanya baru bisa nulis review-nya sekarang. Hehehe. Jadiii, mohon maaf lahir dan batin, ya! Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H bagi yang merayakan! *telat* :p

'Paper Towns' berkisah tentang seorang laki-laki remaja bernama Quentin Jakobsen yang jatuh cinta pada Margo Roth Spiegelman, tetangganya, sejak mereka masih kecil. Seiring dengan berjalannya waktu, dengan Margo yang cukup populer dan semua sifat geek yang dimiliki Q, hubungan mereka berdua menjadi semakin menjauh. Pada suatu malam, Margo secara tiba-tiba menyelinap menemui Q melalui jendela kamar cowok itu. Ia meminta bantuan pada Q untuk meminjamkannya mobil - dan menemaninya - berkeliling kota demi menunaikan misi balas dendam pada beberapa orang yang telah menyakiti hatinya. Q tentu saja tidak dapat menolak permintaan Margo tersebut. Seluruh hal menakjubkan yang terjadi pada malam itu membuat Q jadi merasa lebih memahami Margo. Anehnya, pada keesokan paginya, Margo malah menghilang. Dengan dibantu oleh tiga orang teman dekatnya, Q berusaha memecahkan berbagai klu yang, ia yakini, sengaja dibuat oleh Margo khusus untuknya karena cewek itu ingin Q menemukan dirinya. Namun, semakin jauh Q melangkah, semakin ia sadar bahwa Margo begitu berbeda dengan yang diketahuinya dan dipikirkannya selama ini. Bahwa selama ini, Q hanya melihat Margo sesuai dengan apa yang dirinya sendiri proyeksikan tentang cewek itu.

Sejujurnya, setelah membaca 'The Fault in Our Stars' yang bagi saya juara banget itu, saya nggak menaruh eskpektasi yang terlalu tinggi terhadap 'Paper Towns'. Saya ngerasa sedikit khawatir juga: gimana kalau ceritanya membosankan? Gimana kalau saya berhenti membaca di tengah jalan? - and there were still many 'how if' that crossed my mind at that time. Tapi, begitu saya buka bukunya, saya malah nggak sadar sudah membaca sekian halaman dan saya menikmati itu! Banget! 'Paper Towns' memang bukan 'The Fault in Our Stars' yang cukup mengharukan, sebaliknya, 'Paper Towns' malah cukup sering bikin saya tegang. Lagi-lagi gaya bercerita John Green bikin saya ikut larut dalam usaha menemukan Margo di buku ini. Saya suka bagaimana John Green konsisten merajut kata-kata yang begitu youngish, funny, tapi juga masih banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil.

Dan saya harus memberikan applause pada John Green atas karakter-karakternya dalam 'Paper Towns' ini. Saya jatuh cintaaaa! Memang nggak semuanya lovable, sih, ada juga yang bikin sebel dan gregetan, tapi mereka terasa pas banget aja gitu. Like, each character really fits the story very well. Dalam buku ini, Margo adalah satu-satunya karakter yang saya suka tapi juga saya benci. Saya suka bagaimana dia digambarkan begitu vulnerable di balik eksteriornya yang ceria, ceplas-ceplos, dan restless. Tapi saya terkadang juga sebel dengan keegoisannya yang kayaknya nggak tau waktu banget itu, pake kabur-kaburan segala tanpa pikir panjang dulu. But if Margo didn't disappear, then where would the story come from?

Karakter favorit saya udah jelas banget deh: Quentin. Saya suka sifat geek-nya dan *spoiler!* bagaimana dia rela tidak menghadiri wisuda kelulusan SMA-nya demi menemukan Margo. Salah satu sahabat Q yang bernama Ben juga terkadang mencuri spotlight sang tokoh utama. Tiap kata yang keluar dari mulutnya hampir selalu bikin ketawa. Keanehan dan kelucuannya lah yang sering mencairkan suasana dalam berbagai adegan yang cukup serius dan menegangkan. Lalu, Radar, sahabat Q yang lain, memiliki karakter yang bertolak belakang dengan Ben, seolah saling melengkapi. Radar merupakan orang yang cukup serius, internet genius, namun tidak "selurus" Q yang kurang doyan menghadiri berbagai macam pesta atau acara yang ramai. Untuk hal tersebut, Radar kompak dengan Ben. Namun, kedua lelaki tersebut begitu kompak membantu Q untuk mencari Margo. Persahabatan mereka memang nggak mengandung hal-hal semacam bromance gitu, sih, tapi saya suka dengan interaksi antar mereka bertiga. Terasa real.

Meski saya cukup sebel dengan beberapa karakter dalam 'Paper Towns', namun saya harus ngaku bahwa setelah selesai membaca buku ini, I found myself cope hardly with reality. I couldn't even start reading a new book for the next few days. I was like, "What will happen with Q and Margo next?" 'Paper Towns' juga mengingatkan saya bahwa kita (seharusnya) nggak boleh merasa kecewa apabila orang-orang yang ada di sekitar kita, bahkan yang dekat dengan kita dan sudah kita kenal lama, tiba-tiba berubah. Karena bisa saja hasil dari perubahan tersebut merupakan "wajah asli" mereka dan kita terlalu terpaku dengan proyeksi pikiran kita tentang mereka, sehingga kita merasa kecewa karena mereka menjadi berbeda dengan apa yang kita pikirkan.

15 comments:

  1. Replies
    1. Waktu itu aku titip salah satu temen yang lagi di Jakarta. Dia belinya di Kinokuniya, tapi kurang tau pasti Kinokuniya yang di mana.

      Delete
  2. Kira2 masih ada yg jual gak yaa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih banyak dijual di toko buku semacam Periplus kok. Bahkan kapan hari aku lihat di Gramedia bagian buku impor juga ada. Atau bisa juga beli online di opentrolley.co.id atau periplus.com.

      Delete
  3. ajarin cara beli buku online dong (contohnya di periplus), boleh ga?

    ReplyDelete
  4. kalo boleh tau kamu belinya yang bahasa inggris atau indo?

    ReplyDelete
  5. Replies
    1. Aaaaak iyaaaa! Nat Wolff cocok banget, ya, jadi Q. Cara juga, rebelnya dapet. Terus Ansel Elgort ikutan muncul pula! :3

      Delete
  6. Replies
    1. Waduh, lupa. Hehehe. Kalau nggak salah sekitar 120ribu-an lebih.

      Delete
  7. Baru selesai nonton filmnya. Jadi tertarik baca novelnya. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. WAJIB!!! Ending filmnya beda dari novel soalnya. :D

      Delete