Wednesday, August 13, 2014

Review: Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 - Pidi Baiq

Judul: Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit: DAR! Mizan
Tebal: 332 halaman
Tahun Terbit: 2014
Rating: 4/5
Paperback Quotes:
"Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja" (Dilan 1990)

"Milea, jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu, nanti, besoknya, orang itu akan hilang." (Dilan 1990)

"Cinta sejati adalah kenyamanan, kepercayaan, dan dukungan. Kalau kamu tidak setuju, aku tidak peduli." (Dilan 1990)

.....

"Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990" merupakan karya Pidi Baiq yang pertama kali saya baca, jadi saya berusaha untuk nggak menaruh ekspektasi apa-apa. Sejujurnya, saya beli novel ini secara random, cuma berdasarkan cover dan sinopsis. Well, buku ini bahkan nggak ada sinopsisnya, tapi quotes dan testimoni yang ada di bagian belakang buku cukup untuk membuat saya membawa buku ini ke meja kasir (meskipun sebelumnya sempat browsing dulu di Goodreads untuk tahu average rating-nya :p). Cerita dari "Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990" ini sederhana, yakni tentang Dilan, seorang siswa SMA Negeri di Bandung yang jatuh cinta dengan siswi baru pindahan dari Jakarta; Milea. Tidak mengetahui bahwa sebetulnya Milea telah memiliki pacar di ibu kota, Dilan pun melakukan berbagai usaha untuk mendekati Milea.

Novel ini bisa dibilang merupakan teenlit. Hanya saja, setting-nya pada tahun 1990, saat masih banyak pohon berdiri, jalanan masih sepi, dan pusat-pusat perbelanjaan belum banyak berdiri, membuat Bandungseperti yang dideskripsikan pada novelterasa begitu romantis. Belum lagi masih terbatasnya penggunaan ponsel dan internet, jadi nggak ada yang namanya drama-drama ala cewek cheerleader penguasa sekolah dan cewek cupu yang ditaksir cowok populer (well, I used to read this kind of teenlit and guess what, I enjoyed it. :p). Hei, tapi bukan berarti karena nggak ada drama semacam itu, lantas cerita dari novel ini jadi nggak asik. Novel "Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990" memang memiliki narasi yang tidak banyak, diksinya juga sederhana walaupun sedikit baku, tapi justru menurut saya, di situlah kekuatannya. Dialog-dialog yang terjadi di antara Dilan dan Milea sukses bikin saya senyum, ketawa, tertegun, dan ikutan malu sendiriseolah-olah saya yang diajak ngobrol Dilan. Hahahaha. Belum lagi berbagai perilaku Dilan yang.... duh, bikin saya kangen pengin baca ulang.

Dilan memang unik. Nyeleneh. Ia merupakan anggota dari geng motor yang kadang ikut tawuran melawan sekolah lain. Nakal, tapi tidak brengsek. Ia tidak takut bertindak untuk sesuatu yang ia anggap benar. Karena nyeleneh itulah, cara-cara yang diambil Dilan untuk merebut hati Milea pun jadi tidak biasa dan bikin saya terenyuh. Pada hari ulang tahun Milea, misalnya, Dilan memberikan buku TTS yang telah dijawab penuh olehnya sebagai kado, karena Dilan tidak mau Milea pusing mengisinya. Atau ketika Milea sakit dan Dilan mengirim tukang pijit langganannya ke rumah Milea untuk memijit gadis pujaannya itu. Satu hal lagi yang bikin saya makin naksir sama Dilan, yakni hobi membacanya. Iya, nakal-nakal begitu, Dilan doyan membaca buku-buku sastra. Makanya, nggak heran kalau dia diam-diam suka menulis puisi, yang beberapa di antaranya ditujukan bagi Milea:
Milea 1
Bolehkah aku punya pendapat?
Ini tentang dia yang ada di bumi
Ketika Tuhan menciptakan dirinya
Kukira Dia ada maksud mau pamer
Milea awalnya merasa risih dan terganggu dengan kelakuan Dilan, apalagi ketika itu Milea sedang pacaran jarak jauh dengan Beni yang ada di Jakarta. Ia pun merasa bersalah dan bingung ketika mendapati dirinya mulai menikmati segala perlakuan nyeleneh Dilan terhadapnya. Nah, karena novel ini diceritakan dari sudut pandang Milea, secara pribadi saya cukup dapat merasakan apa yang dirasakan dan dialami Mileatermasuk ketika ia dan Dilan mulai mengobrol tentang hal-hal absurd tapi manis banget! Di sisi alin, sebagai pembaca wanita, saya jadi merasa dihargai oleh Dilan melalui perilaku dan kata-kata yang diucapkannya pada Milea.
"Lia, kalau kamu merasa tidak kuperhatikan, maaf, aku sibuk memantau lingkunganmu, barangkali ada orang mengganggumu, kuhajar dia!" 
"'Aku pernah meramal kamu nanti akan naik motorku,' kata Dilan. 'Ingat?'
'Iya.'
'Bantu aku.'
'Bantu apa?'
'Mewujudkannya.'" 
"'Nah, sekarang kamu tidur. Jangan begadang. Dan, jangan rindu.'
'Kenapa?' kutanya.
'Berat,' jawab Dilan. 'Kau gak akan kuat. Biar aku saja.'"
Nah, kan, GIMANA SAYA NGGAK JATUH CINTA SAMA DILAN, COBA? Sayangnya, ternyata novel ini belum selesai. Seneng, sih, masih ada lanjutannya, tapi saya udah nggak sabar nunggunya. Saya baca "Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990" ini aja sengaja dipelan-pelanin, nggak mau kehilangan Dilan dan segala perilaku manisnya dengan Milea, meskipun akhirnya habis dibaca juga dalam waktu sehari. Intinya, sih, novel ini nagih. Ehehehe. Semoga cepat bertemu lagi, ya, Dilan dan Milea!

Monday, April 14, 2014

BBI Anniversary Guest Post 2014: Buku-Buku Biru's First Guest-Blogger, @putripwu!

Tanggal 13 April 2014 kemarin, Blogger Buku Indonesia (BBI) baru saja berulang tahun yang ketiga! YAIY! Nah, untuk merayakannya, BBI mengadakan dua events seru, salah satunya adalah "BBI Anniversary Guest Post 2014" yang saya ikuti. Di projek tersebut, saya berperan sebagai: guest blogger, yakni menyiapkan dan menulis postingan untuk di-post di blog milik blogger BBI lain; dan juga sebagai host blogger, yang mendapat posting tamu dari blogger BBI lain. 

Pada kesempatan kali ini, saya menjadi host blogger dari Mbak Putri, pemilik blog "Celoteh Putri" dan "Read. Review. Romance". Hah? Itu dua-duanya blog buku? Hahahah iya, keren banget, kan? Kini, Mbak Putri lagi istirahat pasca penempatan PTT di Kota Tidore Kepulauan disambi dengan bekerja. FYI, PTT itu semacam pegawai sementara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang ditempatkan di daerah terpencil dan sangat terpencil di seluruh Indonesia dengan kontrak kerja 1-2 tahun, mengingat bahwa masih banyak daerah di Indonesia yang kekurangan tenaga kesehatan. Untuk menanggulangi hal tersebut, Kemenkes menawarkan para dokter di seluruh Indonesia untuk ditempatkan di berbagai daerah di Indonesia. Cool, right?

But, hey, tulisan Mbak Putri untuk BBI Anniversary Guest Post 2014 kali ini juga nggak kalah cool.  Ketika baca buku, tentu kita pernah kan yang namanya "naksir" dengan tokoh cowok di dalamnya? Sebut aja Augustus Waters, Tobias Eaton, atau si vampir Edward Cullen. Namun, apa bener kalau pembaca yang punya books boyfriends itu konyol atau memang cuma buat seneng-senengan aja? Nah, melalui postingan di bawah ini, Mbak Putri mencoba membahas tentang fenomena books boyfriends yang pasti pernah kita alami.

Thursday, March 13, 2014

Review: Meet the Sennas - Orizuka

Judul: Meet the Sennas
Penulis: Orizuka
Penerbit: Teen@Noura
Tebal: 353 halaman
Tahun Terbit: 2014
Rating: 3.5/5
Paperback Synopsis:
Aku Daza Senna.
Anak kedua dari tiga bersaudara. Yang artinya aku anak tengah ….

Astaga. Aku menulis apa, sih?
Oke, mari coba lagi.

Aku Daza Senna.
Aku tinggal bersama orang-orang yang sama sekali tak bisa disebut normal.
Dan sialnya, orang-orang itu adalah keluargaku.

Hmm, ini sudah lebih bagus.

Siapa sih yang mau tinggal dengan orang-orang yang memberi semacam formulir pendaftaran dan serangkaian ujian kepada setiap cowok yang ingin dekat denganku? Memangnya cowok-cowok itu mau SNMPTN? Coba bayangkan penderitaanku. Belum terbayang? Berarti kalian harus bertemu dengan mereka.

.....

'Meet the Sennas' sebetulnya merupakan novel lama Orizuka yang dulunya berjudul 'Duh... Susahnya Jatuh Cinta...!'. Pertama kali terbit pada tahun 2006, novel tersebut cepat menghilang dari pasaran, sehingga kini diterbitkan kembali dengan berbagai revisi. Dan hal tersebut merupakan langkah yang tepat karena, menurut saya, judul 'Meet the Sennas' terdengar lebih catchy dan "mengundang". Saya sendiri bukan termasuk yang pernah membaca buku ini ketika masih berjudul 'Duh... Susahnya Jatuh Cinta...!', meskipun saya sudah baca karya Orizuka sejak zaman 'Me and My Prince Charming'. Jadi, yah, bisa dibilang kalau Orizuka merupakan salah satu penulis Indonesia favorit saya meskipun saya belum baca seluruh karyanya. Tapi, yang pasti, saya belum pernah merasa kecewa dengan novel-novel Orizuka yang sudah saya baca.

Seperti kebanyakan novel Orizuka yang lain, 'Meet the Sennas' mengangkat tema kehidupan anak SMA. Kali ini, tokoh utamanya seorang cewek berusia 17 tahun bernama Dazafa Senna. Ia lahir dan besar di keluarga yang menurutnya aneh dan tidak normal karena berbagai perilaku mereka. Salah satu contohnya adalah adanya keharusan bagi cowok-cowok yang dekat dengan Daza untuk mengikuti ujian dan mengisi formulir yang telah disediakan oleh Keluarga Senna. Itulah kenapa sampai umur 17 tahun begini, Daza belum pernah pacaran. Dan masalah Daza nggak berhenti sampai di situ; nilai ulangan matematikanya yang jelek ketahuan oleh sang Ayah, ditambah dengan Ujian Nasional yang semakin dekat, membuat Ayah harus memanggil guru privat bagi Daza, yakni Logan, yang juga merupakan sahabat dari kakak Daza.

Dengan aturan ketat yang dikeluarkan oleh keluarganya terkait masalah cowok, Daza jadi nggak berani berharap ada cowok yang mau mendekatinya. Maka ia cukup heran dan kagum ketika Dalas, adik kelasnya yang lucu dan cute, melakukan PDKT dengannya dan bahkan berani datang ke rumahnya untuk meladeni ujian yang diberikan keluarganya. Tetapi, Daza tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa selama ini yang ada dalam pikirannya adalah Logan--meski guru privatnya itu sering mengatainya bodoh, membentaknya, memarahinya, dan lain-lain. Daza pun akhirnya membuat kesepakatan dengan Logan; apabila dirinya berhasil mendapatkan nilai 10 di Ujian Nasional matematika, Logan harus memberi Daza kesempatan untuk mendekatinya.

‘Meet the Sennas’ ditulis dengan menggunakan sudut pandang pertama Daza, yang menurut saya menjadi salah satu keunggulan buku ini karena, seriusan, Daza itu kocak parah! Guyonan-guyonan khas Daza yang cenderung sarkas cukup sering bikin saya cekikikan. Kadang saya juga ikut merasa terharu kalau Daza sudah mulai curhat hal-hal berbau sedih. Intinya, saya jadi lebih bisa menyelami perasaan Daza dengan PoV pertama ini. Sayangnya, hal itu juga membuat karakter-karakter lain seolah “tenggelam”, kurang digali. Logan, contohnya, diceritakan sebagai sosok yang jutek, cool dan cenderung misterius. Orizuka memang sudah menceritakan tentang rahasia yang disimpan rapat-rapat oleh Logan, tapi…. entahlah, masih ada yang kurang, menurut saya. Rasanya masih ada rahasia lain yang belum dibongkar oleh Logan. Karakter Dalas juga. Dia merupakan tokoh yang cukup penting, lho, tapi kesannya kayak hanya jadi pemanis aja. Mungkin ya karena itu tadi, sih…. kurang digali.

Mengenai konflik, saya cukup bingung juga. Selama membaca, saya sih merasa menikmati. Banget. Beberapa menit setelah selesai baca, saya bahkan masih sedikit cengengesan sisa cekikikan selama membaca buku ini. Tapi, setelah bener-bener menutup buku dan menaruhnya kembali ke rak, saya jadi mikir, “Sebetulnya konfliknya tadi apaan, ya?” Nah, karena judulnya adalah ‘Meet the Sennas’, awalnya saya pikir konfliknya akan fokus pada keluarga Daza. Tapi, setelah selesai baca, menurut saya, konflik utamanya terletak pada kisah percintaan Daza dan nilai matematikanya yang jeblok.

Terlepas dari hal-hal di atas, saya tetap merasa terhibur dengan ‘Meet the Sennas’ ini. Ceritanya mungkin memang teenlit banget, sih. Alur cerita dan ending-nya juga dapat ditebak mau menuju ke mana, tapi…. tetap aja, buku ini menjadi bacaan yang menghibur. Kalau yang sedang cari bacaan-bacaan ringan dan pengin ketawa-ketawa, bisa coba baca ‘Meet the Sennas’. Dan, ya, lagi-lagi, saya belum merasa kecewa dengan buku Orizuka. Semoga nggak akan pernah. :)

Sunday, March 2, 2014

Review: Fangirl - Rainbow Rowell

Judul: Fangirl
Penulis: Rainbow Rowell
Penerbit: St. Martin's Griffin (E-book)
Tebal: 413 halaman
Rating: 3,5/5
Goodreads Synopsis:
Cath is a Simon Snow fan.

Okay, the whole world is a Simon Snow fan . . .

But for Cath, being a fan is her life — and she’s really good at it. She and her twin sister, Wren, ensconced themselves in the Simon Snow series when they were just kids; it’s what got them through their mother leaving.

Reading. Rereading. Hanging out in Simon Snow forums, writing Simon Snow fan fiction, dressing up like the characters for every movie premiere.

Cath’s sister has mostly grown away from fandom, but Cath can’t let go. She doesn’t want to.

Now that they’re going to college, Wren has told Cath she doesn’t want to be roommates. Cath is on her own, completely outside of her comfort zone. She’s got a surly roommate with a charming, always-around boyfriend, a fiction-writing professor who thinks fan fiction is the end of the civilized world, a handsome classmate who only wants to talk about words . . . And she can’t stop worrying about her dad, who’s loving and fragile and has never really been alone.

For Cath, the question is: Can she do this?

Can she make it without Wren holding her hand? Is she ready to start living her own life? Writing her own stories?

And does she even want to move on if it means leaving Simon Snow behind?

.....

Saya kenal dengan tulisan Rainbow Rowell lewat novel Eleanor & Park, dan langsung jatuh cinta begitu aja dengan gaya menulisnya. Saya lalu browsing tentang buku-buku yang sudah ia tulis, dan saya jadi tahu bahwa sebelum Eleanor & Park, Rowell telah menulis satu buku berjudul Attachments dan dalam jangka waktu cukup dekat akan merilis buku baru, Fangirl. Awalnya, begitu mengetahui bahwa Rowell telah menulis Attachments, saya sudah berencana untuk membeli dan membaca buku tersebut. Namun, begitu membaca sinopsis Fangirl (yang saat itu belum terbit), saya langsung kepincut dan memutuskan untuk menahan keinginan saya terhadap Attachments sekaligus menunggu Fangirl terbit. Masalahnya, belum apa-apa, saya udah ngerasa bahwa Fangirl mengerti diri saya banget!

Oke mungkin terdengar berlebihan.

Plotnya sederhana, sebenarnya, tentang seorang gadis bernama Cath yang merupakan penggemar berat serial fantasi Simon Snow. She's a very loyal, devoted fan. Tidak hanya membaca serial dan mengoleksi pernak-perniknya, Cath juga rajin menulis fan fiction tentang Simon Snow bersama Wren, saudara kembarnya. Sudah beberapa tahun lamanya mereka melakukan aktivitas tersebut. Tulisan fan fiction mereka bahkan memiliki banyak pembaca di internet. Namun, ketika memasuki kuliah, Wren mulai berubah. Ia seperti kehilangan rasa ketertarikan terhadap Simon Snow. Ia bahkan meminta Cath untuk tidak menjadi roommate-nya, membuat Cath harus berbagi kamar dengan seorang cewek jutek yang sering membawa teman dekat cowoknya masuk. Dengan Wren yang menjauh dan berbagai masalah yang perlahan muncul, Cath dipaksa untuk keluar dari comfort zone-nya, meskipun hal tersebut dapat mengancam kelangsungan penulisan fan fiction tentang Simon Snow yang rajin digarapnya.

Saya menantikan banget novel ini. Sejujurnya, saya memiliki ekspektasi yang cukup tinggi. Saya sudah menyiapkan perasaan saya apabila nanti ada "apa-apa". Saya yakin kalau saya bakal jatuh cinta banget sama buku ini. Pada beberapa chapter awal, ketika cerita masih berkutat pada masa adaptasi dengan masa kuliah, saya bahkan sempat terpaku karena merasa dipahami banget oleh Fangirl melalui tokoh Cath. She reminded me a lot of myself. Rasanya pengin meluk Cath dan bilang, "It's okay, Cath. I feel you." Pokoknya nggak kehitung deh berapa kali saya mendadak menutup buku terus mengangguk-angguk sendiri kayak orang hilang akal.

Sayangnya, as the story went on, saya lama-lama ngerasa bahwa konfliknya kok gitu-gitu aja. Kurang nendang dan bikin gregetan. Oke, saya memang penggemar cerita-cerita fiksi romantis dengan plot yang simpel nan sederhana, yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, tapi ketika membaca Fangirl.... nggak tau deh, kayak ada yang kurang. Selain karena tulisan Rowell yang ringan, hal lain yang membuat saya terus membalik dan membaca halaman demi halaman adalah karena saya penasaran dengan konflik macam apa yang akan dihadapi Cath. Ketika tidak menemukan apa yang saya cari sampai di halaman terakhir, well.... agak kecewa sih dengan kurang nendangnya konflik yang ada, tapi saya suka dengan ending-nya. Pas banget kalau menurut saya.

Hal lain yang menjadi daya tarik dari Fangirl adalah tokoh Levi, teman dekat cowok dari roommate Cath yang bernama Reagan. Bisa dibilang, Levi memiliki karakter yang cukup bertolak belakang dari Cath; free, cheerful, funny, smiley, and sweet. Sedangkan Cath merupakan orang yang cukup awakward, pendiam, dan suka menyendiri. Itulah mengapa tiap kehadiran Levi bisa bikin pembaca Fangirl jadi fresh. Hubungan antara Cath dan Wren juga terasa natural kok, walau sempat merasa sebal juga dengan Wren yang kayaknya nggak peduli terhadap Cath dan ayah mereka. Intinya, sih, jangan terlalu dini men-judge tokoh-tokoh dalam buku ini. Yang awalnya terkesan begini, eh ternyata begitu.

Satu lagi, saya juga suka dan setuju banget dengan yang dikatakan Cath tentang fiksi. Saat itu, Cath sedang menjalani kelas Fiction-Writing pertamanya. Profesor Piper, dosen pengajar yang juga merupakan seorang penulis buku, bertanya pada seisi kelas tentang alasan mengapa mereka menulis fiksi. Adegan tersebut merupakan salah satu adegan favorit saya karena paling membuat saya merasa memahami Cath. Seisi kelas, kecuali Cath, bersahut-sahutan menjawab pertanyaan Profesor Piper dengan berbagai macam jawaban. Tapi, Cath.... dia hanya diam sambil memperhatikan sekitar, sesekali menunduk menatap buku catatannya, lalu membuat jawaban sendiri di dalam hati.

So, what do we write (and read) fiction, Cath?

To be somewhere else.
To get free of ourselves.
To stop being anything or anywhere at all.

To disappear.

Saturday, January 11, 2014

A Quick Review

OH HELLO!

Iya, ini saya balik nulis lagi. Iya, ini saya nyoba untuk menepati janji. Iya, ini saya berusaha untuk nggak menelantarkan blog ini. Iya, ini saya kembaliiiii!

Terlepas dari kemalasan saya dalam menulis review dan meng-update blog ini, saya cukup bangga sama diri saya sendiri karena berhasil memenuhi target reading challenge dari Goodreads di tahun 2013 kemarin. Ehem, sebetulnya sih malah melebihi target, yaitu 38 buku dari target 35 buku (NGGAK USAH SOMBONG WOY BIASA AJA). Bukan masalah jumlah buku yang dibaca, sebenernya, tapi lebih kepada usaha diri sendiri untuk bisa konsisten dan tepat waktu dengan tantangan tersebut. Makanya, mengingat bahwa saya punya hal-hal lain yang harus dilakukan selain membaca, well, saya lumayan bangga sama diri sendiri.

Daaaaaan, ini nih buku-buku yang saya baca di sepanjang tahun 2013 kemarin:

Ada beberapa dari buku-buku tersebut yang sudah saya review di blog ini, yaitu Eleanor & Park, Jakarta Kafe dan An Abundance of Katherines. Gila, ternyata saya nggak produktif banget ya tahun lalu, masa dari 38 buku yang dibaca, cuma ada tiga yang di-review?

Tapi ya sudahlah. Let's move on, shall we?

Tentu nggak semua buku tersebut jadi favorit saya. Beberapa bahkan langsung "amblas" dari pikiran begitu selesai dibaca. Salah satu yang lumayan bikin saya merasakan book hangover adalah 'Insurgent' karya Veronica Roth, yang merupakan buku kedua dari trilogi Divergent. Akhir dari buku tersebut bener-bener menggantung dan bikin saya penasaran sampe kepikiran selama beberapa hari walaupun, memang, secara keseluruhan, saya lebih suka kisah yang diceritakan di 'Divergent'. Nah, novel ketiga dari trilogi tersebut sudah terbit, judulnya 'Allegiant'. Saya sudah punya bukunya, tapi masih ngendon di tumpukan timbunan buku lain karena belum sempat saya baca.

'The Book Thief' juga cukup meninggalkan kesan mendalam buat saya. Saya masih ingat, ketika selesai membacanya, saya sempat merasa gondok sama Markus Zusak, penulisnya, karena.... Ya Tuhan,  HOW COULD HE DO THIS TO HIS READERS, HUH? Dan ternyata, setelah membaca buku ini, saya baru tahu kalau 'The Book Thief' diadaptasi ke layar lebar! Lumayan penasaran juga gimana jadinya, mengingat bahwa yang menjadi narator dalam buku ini adalah 'death'. Kematian. Yup. Kalian bisa lihat trailer filmnya di sini.

Selain ketiga buku yang udah saya review tahun lalu di blog ini, masih ada 'To Kill a Mockingbird', 'Everyday', 'What I Talk About When I Talk about Running', 'Sputnik Sweetheart', 'Dash & Lily's Book of Dares', 'Pulang' dan 'Blue Romance' yang menjadi buku favorit saya di tahun 2013 kemarin. Sedangkan, yang lainnya.... bukannya nggak bagus, tapi mungkin cuma masalah selera aja. Ada, kan, buku-buku yang memang menurut kita bagusnya sampai tiga bahkan empat bintang tapi kurang begitu ngena. Errr.... atau cuma saya aja ya yang seperti itu?

Untuk tahun 2014 ini, saya tentu berharap bisa menyelesaikan target Goodreads reading challenge lagi DAN menulis review-nya juga. Semoga nggak berakhir hanya sampai doa dan ucapan aja ya. Semoga beneran bisa produktif menulis di sini lagi, karena saya pribadi juga merasa bahwa kemampuan menulis saya makin lama makin menumpul. Hiks.

Well, until the next new post.... see ya!