Tuesday, July 31, 2012

Review: Seandainya - Windhy Puspitadewi

Judul: Seandainya
Penulis: Windhy Puspitadewi
Penerbit: Gagas Media
Tebal: 226 halaman
Tahun Terbit: 2012
Rating: 2/5
Sinopsis:
Aku akan menjadi buih.... 

Seperti putri duyung di dongeng itu, kelak aku akan menjadi buih dan membawa mati semua rahasia hatiku. Sebut aku pesimis, tapi sudah terlalu lama aku menunggu saat yang tepat untuk kebenaran itu. Dan selama itu, aku melihat bagaimana benih-benih perasaanmu padanya pelan-pelan tumbuh hingga menjadi bunga yang indah.

Aku kalah bahkan jauh sebelum mulai angkat senjata. Kau ada di hidupku, tapi bukan untuk kumiliki. Kerjap mata indahmu hanya untuk dia dan selamanya itu tak akan berubah. Meski begitu, kenapa aku tidak berusaha berbalik dan mencari jalan keluar dari bayang-bayang dirimu?

Jika suatu hari kau menyadari perasaanku ini, kumohon jangan menyalahkan dirimu. Mungkin memang sudah begini takdir rasaku. Cintaku padamu tak akan pernah melambung ke langit ketujuh. Aku hanya akan membiarkan buih-buih kesedihanku menyaru bersama deburan ombak laut itu. Karena inilah pengorbanan terakhirku: membiarkanmu bahagia tanpa diriku....

.....

Ber-setting di kota Surabaya, cerita berawal pada tahun 2002, ketika Rizki, Juno, Arma, dan Christine bertemu untuk pertama kalinya. Juno dan Arma merupakan adik-kakak. Arma sempat harus meninggalkan bangku sekolah selama setahun, sehingga kini ia harus menjadi seangkatan dengan sang adik. Pertemuan tersebut adalah titik awal dimulainya persahabatan mereka di bangku SMA. Lalu waktu melangkah ke tahun 2004, di mana konflik mulai muncul--tentang perasaan, mimpi, keluarga... yang dipendam terlalu lama. Waktu pun melompat ke tahun 2010, saat dua orang dari mereka berempat harus menerima akibat dari bungkamnya mereka akan perasaan masing-masing.

Buku ini adalah salah satu bukti kenapa saya nggak boleh menaruh harapan terlalu tinggi--terhadap apapun. Windhy Puspitadewi adalah salah satu penulis favorit saya. Saya ngikutin hampir semua karyanya, kecuali yang 'Run! Run! Run!', dan semuanya meninggalkan kesan yang cukup mendalam. Tapi, di buku 'Seandainya' ini, nggak begitu. Saya, jujur aja, kecewa. Dari segi alur, menurut saya perpindahannya terlalu cepat; dimulai dari pertemuan Rizki, Juno, Arma, dan Christine, lalu cerita mulai fokus pada masing-masing karakter, dan diakhiri dengan sesuatu yang tidak dijelaskan di awal maupun tengah cerita. Chemistry persahabatan mereka juga kurang terasa karena mereka berempat jarang sekali diceritakan berinteraksi bersama.

Sedangkan dari segi karakter, saya nggak punya ketertarikan yang cukup mendalam, mungkin karena perpindahan sudut pandang yang terlalu sering. Tapi, yang saya suka dari novel-novel Windhy adalah betapa bijak dan dewasa para karakternya, membuat saya berpikir bahwa mungkin masih ada, lho, pria yang benar-benar baik di dunia ini. Lewat para karakternya, saya bahkan bisa mengambil banyak kutipan yang keren banget. Satu lagi yang membuat novel ini begitu 'Windhy', yaitu bahasanya yang formal dan cenderung puitis, nggak peduli tokoh-tokohnya yang masih duduk di bangku SMA.

Meski ada kekurangan di sana-sini, novel 'Seandainya' nggak membuat saya kapok kok untuk tetap setia menunggu dan membaca karya-karya Windhy selanjutnya. Semoga nantinya bisa lebih baik dan mengobati kekecewaan saya pada buku ini. Dan, oh ya, salah satu alasan saya membeli buku ini, selain karena faktor penulis, adalah karena cover-nya yang manis, antik, unik banget. Bravo untuk ilustratornya! :)

Review: 1Q84 - Haruki Murakami

Judul: 1Q84
Penulis: Haruki Murakami
Penerbit: Knopf Doubleday Publishing Group
Tebal: 925 halaman
Tahun Terbit: 2011
Rating: 4,5/5
Sinopsis:
The year is 1984 and the city is Tokyo.

A young woman named Aomame follows a taxi driver’s enigmatic suggestion and begins to notice puzzling discrepancies in the world around her. She has entered, she realizes, a parallel existence, which she calls 1Q84 —“Q is for ‘question mark.’ A world that bears a question.” Meanwhile, an aspiring writer named Tengo takes on a suspect ghostwriting project. He becomes so wrapped up with the work and its unusual author that, soon, his previously placid life begins to come unraveled. 

As Aomame’s and Tengo’s narratives converge over the course of this single year, we learn of the profound and tangled connections that bind them ever closer: a beautiful, dyslexic teenage girl with a unique vision; a mysterious religious cult that instigated a shoot-out with the metropolitan police; a reclusive, wealthy dowager who runs a shelter for abused women; a hideously ugly private investigator; a mild-mannered yet ruthlessly efficient bodyguard; and a peculiarly insistent television-fee collector.

.....

Awalnya, novel 1Q84 ini ditulis oleh Haruki Murakami dalam bahasa Jepang, lalu mulai diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, salah satunya bahasa inggris. Sebenarnya saya mau nungguin sampai buku ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia, tapi karena sudah penasaran banget pengen baca, akhirnya memutuskan untuk membeli yang edisi bahasa Inggris. And this is sort of embarrassing, but it took me four freaking months to finish this book. Meski ini bukan pertama kalinya saya baca novel dalam bahasa Inggris, tapi 925 halaman itu cukup bikin saya menelan ludah, sih. Belum lagi selama empat bulan itu, bisa dibilang saya berada di masa-masa di mana saya sedang malas membaca buku. *self-toyor*

1Q84 merupakan karya kedua Haruki Murakami yang saya baca. Norwegian Wood adalah yang pertama. 1Q84 sendiri merupakan plesetan dari 1984 (latar waktu kisah ini terjadi), yang dicetuskan oleh Aomame, tokoh utama wanita dalam buku tersebut. Aomame merupakan seorang instruktur kesehatan dan "pembunuh" bayaran yang di-back up oleh salah satu kliennya, seorang janda tua yang kaya. Suatu hari, ketika sedang dalam perjalanan untuk menunaikan suatu misi dari klien tersebut, Aomame merasa bahwa tanpa sadar ia telah "berpindah" ke dunia yang surreal dan penuh dengan pertanyaan, ditandai dengan meningkatnya jumlah bulan menjadi dua. Ia menyebutnya 1Q84.

Di sisi lain, ada Tengo, sang tokoh utama pria, yang berprofesi sebagai guru matematika dan penulis lepas. Suatu hari ia menerima tawaran dari seorang editor untuk menjadi ghost-writer, dengan menulis ulang karya berjudul "Air Chrysalis" milik gadis unik berumur 17 tahun, Fuka-Eri. Sejak itu, banyak masalah muncul dalam kehidupan Tengo. Dan masalah pun memuncak ketika Tengo sadar bahwa dunianya mendadak berubah persis seperti apa yang dituliskannya dalam "Air Chrysalis", di mana jumlah bulan meningkat menjadi dua.

Jadi... apa hubungan antara Aomame dan Tengo? Mengapa dunia mereka mendadak berubah? I won't give you the spoiler, though. :p

Seperti biasa, tulisan Murakami penuh dengan deskripsi yang mendetail meskipun dalam beberapa bagian cukup erotis. Detail yang digambarkan nggak hanya fisik dan ruang, tapi juga secara emosional. Penceritaan diambil dari sudut pandang Aomame dan Tengo pada buku 1 dan 2, lalu ditambah sudut pandang pihak ketiga bernama Ushikawa pada buku 3. Kisah dalam 1Q84 bisa dibilang perpaduan dari misteri, thriller, keluarga, cinta, dan religion. Semakin jauh saya membaca, semakin saya penasaran dengan buku ini. Jadi, meskipun 1Q84 ini tebal dan alurnya cukup lamban, saya nggak ngerasa bosan. Dan, satu lagi yang saya suka, 1Q84 penuh dengan banyak quotes menarik.
"That's what the world is, after all: an endless batlle of contrasting memories."
"Once you let yourself grow close to someone, cutting the ties could be painful."
"I can say that things are going all that well for the moment, but if possible I'd like to make my living by writing. Writing - and especially fiction writing - is well suited to my personality, I think."
"There are always far more people in theworld who make things worse, rather than help out." 
Sayangnya, menurut saya nih, 1Q84 meninggalkan banyak banget pertanyaan. Ada hal-hal yang sepertinya belum tuntas, belum terjawab, sengaja dibiarkan menggantung. Mungkin memang sengaja dibiarkan jadi teka-teki kali, ya, biar sesuai sama esensi judulnya. Tapi rasanya jadi nggak enak banget. Begitu saya selesai baca 1Q84, saya jadi kepikiran untuk mengirim e-mail ke Murakami, tanya-tanya tentang 1Q84. Nggak saya lakuin, tentu aja.

Well, meskipun 1Q84 ini merupakan buku yang bagus, laris, dan sudah ditunggu-tunggu oleh banyak penggemar Murakami, tapi saya nggak menyarankan buku ini untuk dibaca para penikmat awal karya Murakami. Norwegian Wood would be a better choice, I think.

Review: Sunshine Becomes You - Ilana Tan

Judul: Sunshine Becomes You
Penulis: Ilana Tan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 432 halaman
Tahun terbit: 2012
Rating: 4/5
Sinopsis:
“Walaupun tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa kaupercayai, percayalah bahwa aku mencintaimu. Sepenuh hatiku.” 

Ini adalah salah satu kisah yang terjadi di bawah langit kota New York… 
Ini kisah tentang harapan yang muncul di tengah keputusasaan… 
Tentang impian yang bertahan di antara keraguan… 
Dan tentang cinta yang memberikan alasan untuk bertahan hidup. 

Awalnya Alex Hirano lebih memilih jauh-jauh dari gadis itu—malaikat kegelapannya yang sudah membuatnya cacat. 
Kemudian Mia Clark tertawa dan Alex bertanya-tanya bagaimana ia dulu bisa berpikir gadis yang memiliki tawa secerah matahari itu adalah malaikat kegelapannya. 

Awalnya mata hitam yang menatapnya dengan tajam dan dingin itu membuat Mia gemetar ketakutan dan berharap bumi menelannya detik itu juga. 
Kemudian Alex Hirano tersenyum dan jantung Mia yang malang melonjak dan berdebar begitu keras sampai Mia takut Alex bisa mendengarnya.

.....

Ber-setting di kota New York, novel ke-5 Ilana Tan ini bercerita tentang witing tresna jalaran saka kulina. Tentang benci jadi cinta. Tentang Mia Clark si penari kontemporer yang tanpa sengaja membuat tangan kiri Alex Hirano, seorang pemain piano, cedera. Merasa amat bersalah, Mia pun berinisiatif menawarkan diri untuk membantu Alex melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukannya dengan satu tangan.

Walau menurut saya kisahnya cukup klasik dan ending-nya mudah ditebak, namun gaya menulis Ilana Tan yang ringan dan manis membuat saya nggak bisa berhenti membaca lembar demi lembar halamannya. Penggambaran karakternya pas. Minim typo, pula! Dan seperti novel Tetralogi Empat Musim sebelumnya, Ilana Tan juga menampilkan unsur-unsur romantis dalam Sunshine Becomes You. Saya pribadi suka bagaimana Ilana Tan membuat hal-hal kecil menjadi adegan yang romantis dan sukses bikin saya jejeritan.

Selain itu, permainan PoV atau sudut pandang-nya juga bagus. Ilana Tan memakai sudut pandang orang ketiga yang berpindah-pindah dari satu karakter ke karakter yang lain. Nah, perpindahan sudut pandang karakternya itu menurut saya mulus banget. Bisa dibilang hal ini menjadi salah satu kelebihan Ilana Tan dalam menulis cerita.

Sayangnya, ada beberapa bagian yang menurut saya nggak begitu penting dan menunjang cerita. Kesannya kayak cuma untuk nambah-nambahin aja. Ilana Tan juga kurang maksimal dalam mengeksplor setting tempat yang dipilihnya. Kota New York hanya dijelaskan seiprit, padahal hal tersebut bisa jadi nilai plus kalau ditulis lebih detail lagi.

Tapi, overall, Sunshine Becomes You menjadi bacaan yang cukup membekas (in a good way) di pikiran--dan hati--saya. Saya begadang sampe jam tiga pagi demi menamatkan buku ini, gara-gara suka banget sama hubungan Mia dan Alex yang sweet! Yah, walaupun menurut saya, Sunshine Becomes You belum bisa menggantikan kedahsyatan novel Tetralogi Empat Musim sebelumnya. *lebay* :p

Monday, July 30, 2012

Review: Rumah Cokelat - Sitta Karina

Judul: Rumah Cokelat
Penulis: Sitta Karina
Penerbit: Buah Hati
Tebal: 226 halaman
Tahun terbit: 2011
Rating: 3,5/5
Sinopsis:
JADI IBU MUDA BEKERJA DI JAKARTA TIDAK MUDAH! Hannah Andhito adalah tipikal perempuan masa kini di kota besar; bekerja di perusahaan multinasional, mengikuti tren fashion dan gaya hidup terkini sambil berusaha menabung untuk keluarga kecilnya, sangat menyukai melukis dengan cat air (yang ternyata baru ia sadari ini adalah passion-nya!), memiliki suami yang tampan dan family-oriented, sahabat SMA yang masih in touch, serta si kecil Razsya yang usianya jalan 2 tahun. 

Sempurna? Awalnya Hannah merasa begitu sampai Razsya bergumam bahwa ia menyayangi pengasuh yang sehari-hari selalu bersamanya. Perjalanan Hannah menemukan makna menjadi seorang ibu yang sesungguhnya dimulai sejak momen itu.

.....

Novel dengan genre MomLit ini bercerita tentang usaha Hannah Andhito dalam membuat kehidupan keluarga kecil dan karirnya seimbang. Ternyata hal tersebut tidak mudah karena dalam perjalannya, ia dihadapkan pada berbagai macam persoalan yang cukup bikin pusing. Dan salah satu yang cukup membuatnya kepikiran adalah si kecil Razsya yang bergumam dalam tidurnya bahwa ia menyayangi Mbak Upik, si pengasuh yang sehari-hari bersamanya. Sejak saat itu, Hannah mulai merasa bahwa perannya sebagai Ibu kurang maksimal.

Saya suka banget dengan keluarga kecil Andhito ini. Karakter Hannah yang emosinya suka meledak-ledak tapi selalu mementingkan keluarga, cocok dengan Wigra sang suami yang begituhumble, sabar, dan perhatian. Nggak ketinggalan si kecil Razsya yang sedang lincah-lincahnya dan doyan bertanya ini-itu. Maka, rasanya nggak berlebihan kalau saya bilang bahwa kisah 'Rumah Cokelat' ini begitu sweet, yang mana merupakan salah satu kelebihan Sitta Karina dalam membuat cerita. Hebatnya lagi, walau ber-genre MomLit, menurut saya novel ini cocok juga bagi pembaca yang belum menikah.

Sayangnya, ada beberapa konflik yang rasanya kurang dieksplor. Padahal, menurut saya konflik tersebut bisa jadi konflik utama yang seru dalam novel ini. Contohnya, tentang hubungan Wigra dengan Olivia Chow dan Ara yang hanya menjadi konflik selingan. Selain itu, karakter Banyu dan Smith juga sepertinya kurang digali lebih dalam, mengingat kedua tokoh tersebut cukup sering muncul dalam novel ini.

But, overall, seperti novel-novel Sitta Karina sebelumnya, 'Rumah Cokelat' ini mempunyai pesan-pesan inspiring tentang esensi keluarga, juga membuka pikiran kita bahwa sebenarnya menjadi Ibu Rumah Tangga itu nggak sesimpel kedengarannya. Gara-gara baca buku ini juga, bertambah deh fictional character ciptaan Sitta Karina yang jadi favorit saya. Selain Carlo Andara Hanafiah, Sigra Hening Hanafiah, dan Nikratama Zakrie, kini Wigraha Andhito pun masuk dalam daftar. Smooch, smooch!

Review: Sekeping Tanda - Andi Wirambara

Judul: Sekeping Tanda
Penulis: Andi Wirambara
Penerbit: Indie Book Corner
Tebal: 164 halaman
Tahun terbit: 2011
Rating: 4/5
Sinopsis:
"Katanya, dulu ada gadis SMA yang senang nonton ke bioskop. Dia semata wayang, mungkin karena itu orang tuanya jadi over protektif padanya. Khawatir dengan nilai dan pergaulannya jika suka keluar menonton. Orang tuanya melarangnya pergi ke bioskop. Tapi gadis ini sering kabur dan mencuri kesempatan menonton. Hingga akhirnya orang tuanya tahu, marah besar dan ia kabur. Namun ia ditabrak mobil sewaktu menyebrang jalan dan tewas. Konon, ia suka menampakkan diri di bangku belakang bioskop-bioskop. Entah kenapa," Nada justru bercerita.

"Lalu, buat apa kamu cerita?" Pikiranku sudah kemana-mana, mengkait-kaitkan logika dengan tiap prakiraanku terhadapnya. Ia tersenyum lagi, tak menjawab. 

.....

Sejujurnya, saya kurang begitu suka baca buku kumpulan cerpen. Cerita pendek, saya suka. Tapi buku kumpulan cerita pendek? Nggak tau kenapa saya kurang tertarik. Buku kumpulan cerpen atau fiksi yang saya punya cuma yang karangannya Sitta Karina dan Dewi Lestari aja. Tapi, pas ke Gramedia Tunjungan Plaza hari Sabtu lalu, saya lihat buku ini. Awalnya saya kira itu novel, makanya saya tertarik untuk membawanya ke kasir lalu menukarkannya dengan sejumlah uang.

Begitu saya buka, saya ngerasa agak kecewa karena ternyata buku ini merupakan sebuah kumpulan cerita pendek. Tapi... akhirnya saya malah jadi suka. Banget.

Buku berjudul 'Sekeping Tanda' yang berisi lima belas cerita pendek ini merupakan karya dari Andi Muhammad Era Wirambara. Diawali dengan 'Nalia' yang berkisah tentang perjuangan mendapatkan cinta seseorang dengan menggunakan analogi medali, dan diakhiri dengan 'Di Antara Hujan Lalu', sebuah kisah tentang seorang cowok yang mendadak teringat dengan perjalanan hatinya di masa lalu, padahal saat itu ia sedang berantem dengan sang pacar.

Kisah favorit saya adalah Patung Taman, Bangku Belakang Bioskop, Puisi - Mati, Di Antara Hujan Lalu--ah saya suka hampir semuanya! Saya suka gaya bahasa dan diksi yang dipilih Bara dalam cerpen-cerpennya. Puitis. Manis. Romantis. Ide-idenya juga sederhana namun dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi luar biasa dan penuh kejutan. Semua cerpen dalam buku ini mengandung unsur cecintaan, tapi nggak semua berakhir manis, ada pula yang tragis dan bernuansa dark seperti 'Desing' dan 'Puisi - Mati'. Selain itu, dalam beberapa cerpennya, diselipkan puisi-puisi yang menurut saya cantik. Menarik.

Sayangnya, di dalam beberapa halaman, ada tulisan yang cetakannya kurang jelas, seperti dipaksa cetak padahal tintanya habis. Cukup mengganggu, sih, tapi nggak mengurangi rasa exciting saya untuk terus membaca buku ini hingga halaman terakhir. Beneran deh, buku ini layak banget dibaca. Selalu ada lesson learned di setiap cerpennya. Good job untuk Bara! Semoga nggak ada lagi hal-hal teknis mengganggu di cetakan selanjutnya. Saya nunggu karya kamu selanjutnya!

Dan, pada akhirnya, buku kumpulan cerita pendek saya bertambah. Saya sama sekali nggak menyesal sudah membeli dan membaca buku ini.