Thursday, March 13, 2014

Review: Meet the Sennas - Orizuka

Judul: Meet the Sennas
Penulis: Orizuka
Penerbit: Teen@Noura
Tebal: 353 halaman
Tahun Terbit: 2014
Rating: 3.5/5
Paperback Synopsis:
Aku Daza Senna.
Anak kedua dari tiga bersaudara. Yang artinya aku anak tengah ….

Astaga. Aku menulis apa, sih?
Oke, mari coba lagi.

Aku Daza Senna.
Aku tinggal bersama orang-orang yang sama sekali tak bisa disebut normal.
Dan sialnya, orang-orang itu adalah keluargaku.

Hmm, ini sudah lebih bagus.

Siapa sih yang mau tinggal dengan orang-orang yang memberi semacam formulir pendaftaran dan serangkaian ujian kepada setiap cowok yang ingin dekat denganku? Memangnya cowok-cowok itu mau SNMPTN? Coba bayangkan penderitaanku. Belum terbayang? Berarti kalian harus bertemu dengan mereka.

.....

'Meet the Sennas' sebetulnya merupakan novel lama Orizuka yang dulunya berjudul 'Duh... Susahnya Jatuh Cinta...!'. Pertama kali terbit pada tahun 2006, novel tersebut cepat menghilang dari pasaran, sehingga kini diterbitkan kembali dengan berbagai revisi. Dan hal tersebut merupakan langkah yang tepat karena, menurut saya, judul 'Meet the Sennas' terdengar lebih catchy dan "mengundang". Saya sendiri bukan termasuk yang pernah membaca buku ini ketika masih berjudul 'Duh... Susahnya Jatuh Cinta...!', meskipun saya sudah baca karya Orizuka sejak zaman 'Me and My Prince Charming'. Jadi, yah, bisa dibilang kalau Orizuka merupakan salah satu penulis Indonesia favorit saya meskipun saya belum baca seluruh karyanya. Tapi, yang pasti, saya belum pernah merasa kecewa dengan novel-novel Orizuka yang sudah saya baca.

Seperti kebanyakan novel Orizuka yang lain, 'Meet the Sennas' mengangkat tema kehidupan anak SMA. Kali ini, tokoh utamanya seorang cewek berusia 17 tahun bernama Dazafa Senna. Ia lahir dan besar di keluarga yang menurutnya aneh dan tidak normal karena berbagai perilaku mereka. Salah satu contohnya adalah adanya keharusan bagi cowok-cowok yang dekat dengan Daza untuk mengikuti ujian dan mengisi formulir yang telah disediakan oleh Keluarga Senna. Itulah kenapa sampai umur 17 tahun begini, Daza belum pernah pacaran. Dan masalah Daza nggak berhenti sampai di situ; nilai ulangan matematikanya yang jelek ketahuan oleh sang Ayah, ditambah dengan Ujian Nasional yang semakin dekat, membuat Ayah harus memanggil guru privat bagi Daza, yakni Logan, yang juga merupakan sahabat dari kakak Daza.

Dengan aturan ketat yang dikeluarkan oleh keluarganya terkait masalah cowok, Daza jadi nggak berani berharap ada cowok yang mau mendekatinya. Maka ia cukup heran dan kagum ketika Dalas, adik kelasnya yang lucu dan cute, melakukan PDKT dengannya dan bahkan berani datang ke rumahnya untuk meladeni ujian yang diberikan keluarganya. Tetapi, Daza tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa selama ini yang ada dalam pikirannya adalah Logan--meski guru privatnya itu sering mengatainya bodoh, membentaknya, memarahinya, dan lain-lain. Daza pun akhirnya membuat kesepakatan dengan Logan; apabila dirinya berhasil mendapatkan nilai 10 di Ujian Nasional matematika, Logan harus memberi Daza kesempatan untuk mendekatinya.

‘Meet the Sennas’ ditulis dengan menggunakan sudut pandang pertama Daza, yang menurut saya menjadi salah satu keunggulan buku ini karena, seriusan, Daza itu kocak parah! Guyonan-guyonan khas Daza yang cenderung sarkas cukup sering bikin saya cekikikan. Kadang saya juga ikut merasa terharu kalau Daza sudah mulai curhat hal-hal berbau sedih. Intinya, saya jadi lebih bisa menyelami perasaan Daza dengan PoV pertama ini. Sayangnya, hal itu juga membuat karakter-karakter lain seolah “tenggelam”, kurang digali. Logan, contohnya, diceritakan sebagai sosok yang jutek, cool dan cenderung misterius. Orizuka memang sudah menceritakan tentang rahasia yang disimpan rapat-rapat oleh Logan, tapi…. entahlah, masih ada yang kurang, menurut saya. Rasanya masih ada rahasia lain yang belum dibongkar oleh Logan. Karakter Dalas juga. Dia merupakan tokoh yang cukup penting, lho, tapi kesannya kayak hanya jadi pemanis aja. Mungkin ya karena itu tadi, sih…. kurang digali.

Mengenai konflik, saya cukup bingung juga. Selama membaca, saya sih merasa menikmati. Banget. Beberapa menit setelah selesai baca, saya bahkan masih sedikit cengengesan sisa cekikikan selama membaca buku ini. Tapi, setelah bener-bener menutup buku dan menaruhnya kembali ke rak, saya jadi mikir, “Sebetulnya konfliknya tadi apaan, ya?” Nah, karena judulnya adalah ‘Meet the Sennas’, awalnya saya pikir konfliknya akan fokus pada keluarga Daza. Tapi, setelah selesai baca, menurut saya, konflik utamanya terletak pada kisah percintaan Daza dan nilai matematikanya yang jeblok.

Terlepas dari hal-hal di atas, saya tetap merasa terhibur dengan ‘Meet the Sennas’ ini. Ceritanya mungkin memang teenlit banget, sih. Alur cerita dan ending-nya juga dapat ditebak mau menuju ke mana, tapi…. tetap aja, buku ini menjadi bacaan yang menghibur. Kalau yang sedang cari bacaan-bacaan ringan dan pengin ketawa-ketawa, bisa coba baca ‘Meet the Sennas’. Dan, ya, lagi-lagi, saya belum merasa kecewa dengan buku Orizuka. Semoga nggak akan pernah. :)

Sunday, March 2, 2014

Review: Fangirl - Rainbow Rowell

Judul: Fangirl
Penulis: Rainbow Rowell
Penerbit: St. Martin's Griffin (E-book)
Tebal: 413 halaman
Rating: 3,5/5
Goodreads Synopsis:
Cath is a Simon Snow fan.

Okay, the whole world is a Simon Snow fan . . .

But for Cath, being a fan is her life — and she’s really good at it. She and her twin sister, Wren, ensconced themselves in the Simon Snow series when they were just kids; it’s what got them through their mother leaving.

Reading. Rereading. Hanging out in Simon Snow forums, writing Simon Snow fan fiction, dressing up like the characters for every movie premiere.

Cath’s sister has mostly grown away from fandom, but Cath can’t let go. She doesn’t want to.

Now that they’re going to college, Wren has told Cath she doesn’t want to be roommates. Cath is on her own, completely outside of her comfort zone. She’s got a surly roommate with a charming, always-around boyfriend, a fiction-writing professor who thinks fan fiction is the end of the civilized world, a handsome classmate who only wants to talk about words . . . And she can’t stop worrying about her dad, who’s loving and fragile and has never really been alone.

For Cath, the question is: Can she do this?

Can she make it without Wren holding her hand? Is she ready to start living her own life? Writing her own stories?

And does she even want to move on if it means leaving Simon Snow behind?

.....

Saya kenal dengan tulisan Rainbow Rowell lewat novel Eleanor & Park, dan langsung jatuh cinta begitu aja dengan gaya menulisnya. Saya lalu browsing tentang buku-buku yang sudah ia tulis, dan saya jadi tahu bahwa sebelum Eleanor & Park, Rowell telah menulis satu buku berjudul Attachments dan dalam jangka waktu cukup dekat akan merilis buku baru, Fangirl. Awalnya, begitu mengetahui bahwa Rowell telah menulis Attachments, saya sudah berencana untuk membeli dan membaca buku tersebut. Namun, begitu membaca sinopsis Fangirl (yang saat itu belum terbit), saya langsung kepincut dan memutuskan untuk menahan keinginan saya terhadap Attachments sekaligus menunggu Fangirl terbit. Masalahnya, belum apa-apa, saya udah ngerasa bahwa Fangirl mengerti diri saya banget!

Oke mungkin terdengar berlebihan.

Plotnya sederhana, sebenarnya, tentang seorang gadis bernama Cath yang merupakan penggemar berat serial fantasi Simon Snow. She's a very loyal, devoted fan. Tidak hanya membaca serial dan mengoleksi pernak-perniknya, Cath juga rajin menulis fan fiction tentang Simon Snow bersama Wren, saudara kembarnya. Sudah beberapa tahun lamanya mereka melakukan aktivitas tersebut. Tulisan fan fiction mereka bahkan memiliki banyak pembaca di internet. Namun, ketika memasuki kuliah, Wren mulai berubah. Ia seperti kehilangan rasa ketertarikan terhadap Simon Snow. Ia bahkan meminta Cath untuk tidak menjadi roommate-nya, membuat Cath harus berbagi kamar dengan seorang cewek jutek yang sering membawa teman dekat cowoknya masuk. Dengan Wren yang menjauh dan berbagai masalah yang perlahan muncul, Cath dipaksa untuk keluar dari comfort zone-nya, meskipun hal tersebut dapat mengancam kelangsungan penulisan fan fiction tentang Simon Snow yang rajin digarapnya.

Saya menantikan banget novel ini. Sejujurnya, saya memiliki ekspektasi yang cukup tinggi. Saya sudah menyiapkan perasaan saya apabila nanti ada "apa-apa". Saya yakin kalau saya bakal jatuh cinta banget sama buku ini. Pada beberapa chapter awal, ketika cerita masih berkutat pada masa adaptasi dengan masa kuliah, saya bahkan sempat terpaku karena merasa dipahami banget oleh Fangirl melalui tokoh Cath. She reminded me a lot of myself. Rasanya pengin meluk Cath dan bilang, "It's okay, Cath. I feel you." Pokoknya nggak kehitung deh berapa kali saya mendadak menutup buku terus mengangguk-angguk sendiri kayak orang hilang akal.

Sayangnya, as the story went on, saya lama-lama ngerasa bahwa konfliknya kok gitu-gitu aja. Kurang nendang dan bikin gregetan. Oke, saya memang penggemar cerita-cerita fiksi romantis dengan plot yang simpel nan sederhana, yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, tapi ketika membaca Fangirl.... nggak tau deh, kayak ada yang kurang. Selain karena tulisan Rowell yang ringan, hal lain yang membuat saya terus membalik dan membaca halaman demi halaman adalah karena saya penasaran dengan konflik macam apa yang akan dihadapi Cath. Ketika tidak menemukan apa yang saya cari sampai di halaman terakhir, well.... agak kecewa sih dengan kurang nendangnya konflik yang ada, tapi saya suka dengan ending-nya. Pas banget kalau menurut saya.

Hal lain yang menjadi daya tarik dari Fangirl adalah tokoh Levi, teman dekat cowok dari roommate Cath yang bernama Reagan. Bisa dibilang, Levi memiliki karakter yang cukup bertolak belakang dari Cath; free, cheerful, funny, smiley, and sweet. Sedangkan Cath merupakan orang yang cukup awakward, pendiam, dan suka menyendiri. Itulah mengapa tiap kehadiran Levi bisa bikin pembaca Fangirl jadi fresh. Hubungan antara Cath dan Wren juga terasa natural kok, walau sempat merasa sebal juga dengan Wren yang kayaknya nggak peduli terhadap Cath dan ayah mereka. Intinya, sih, jangan terlalu dini men-judge tokoh-tokoh dalam buku ini. Yang awalnya terkesan begini, eh ternyata begitu.

Satu lagi, saya juga suka dan setuju banget dengan yang dikatakan Cath tentang fiksi. Saat itu, Cath sedang menjalani kelas Fiction-Writing pertamanya. Profesor Piper, dosen pengajar yang juga merupakan seorang penulis buku, bertanya pada seisi kelas tentang alasan mengapa mereka menulis fiksi. Adegan tersebut merupakan salah satu adegan favorit saya karena paling membuat saya merasa memahami Cath. Seisi kelas, kecuali Cath, bersahut-sahutan menjawab pertanyaan Profesor Piper dengan berbagai macam jawaban. Tapi, Cath.... dia hanya diam sambil memperhatikan sekitar, sesekali menunduk menatap buku catatannya, lalu membuat jawaban sendiri di dalam hati.

So, what do we write (and read) fiction, Cath?

To be somewhere else.
To get free of ourselves.
To stop being anything or anywhere at all.

To disappear.