Sunday, June 16, 2013

I Feel You, Ana

Minggu lalu, saya baru nonton film berjudul 'Liberal Arts' (2012), yang di-direct dan ditulis oleh Josh Radnor. Yup, si Ted Mosby dari serial HIMYM itu! Secara garis besar, film ini bercerita tentang seorang pria berumur 30-an bernama Jesse (Josh Radnor) yang jatuh cinta dengan gadis berumur 19 tahun bernama Zibby (Elizabeth Olsen). Sekilas, mungkin 'Liberal Arts' terdengar seperti film-film romantis lain. Tapi, percaya deh, it's not.

Jesse sangat suka membaca. Ia bahkan sering berkunjung ke sebuah toko buku di mana Ana (Elizabeth Reaser) suka diam-diam memperhatikannya. Suatu hari, Jesse datang ketika toko buku tersebut telah tutup, tapi ia malah jadi terlibat obrolan dengan Ana, mendengarkan wanita itu berbicara mengenai kecintaannya terhadap buku.

Scene di mana dialog di bawah ini muncul!


















AnaI love books. I do in, like, the dorkiest way possible. 

JesseOh, me too. It's a problem. 

AnaLike, I love trees cause they give us books. 

JesseSuper cool of the trees to do that, Right? 

AnaI'm actually... this is weird. I'm actually trying to read less. 

JesseWhy? 

AnaI felt like I wasn't watching enough television. No, l just started to feel like reading about life was taking time away from actually living life, so I'm trying to, like, accept invitations to things, say "hi" to the world a little more. 

JesseThat sounds scary. It's going well? 

Ana: It's... okay. I keep thinking I'd be so much happier in bed with a book, and that makes me feel not super cool. I still read tons. I just feel like I'm more aware of a book's limitations. Does that make sense? 

JesseYeah, totally.

....

So, what do you think? Should we try to read less so that we can really live the life?
Yay or nay?

Saturday, June 15, 2013

Review: Jakarta Kafe - Tatyana

Judul: Jakarta kafe
Penulis: Tatyana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 294 halaman
Tahun Terbit: 2013
Rating: 3,5/5
Paperback Synopsis:
Jakarta, dalam cerita-cerita ini, adalah ceruk yang tenang tapi gersang, berisik tapi sunyi, gemerlap tapi muram. jakarta seperti musik jazz: serbaada dan menawarkan segala kemungkinan. Paradoks-paradoks itu bisa hadir sendiri-sendiri, tumpang tindih, atau berombongan sekaligus sehingga sulit menyebut apa warna jakarta sesungguhnya. Sebutlah sesuatu, itulah Jakarta.

Kisah yang berkesan ternyata tak perlu datang dari gagasan besar, imajinasi aneh-aneh. Tapi pengrajin yang baik akan memulas bonggol tak berguna menjadi patung yang dahsyat. Tergantung bagaimana keunikan dibentuk dengan jalinan yang bernas. Jakarta Kafe telah melakukannya.

.....

Saya suka terhadap hal-hal yang simpel nan cantik. Bagi saya, less is more. Hal itulah yang menurut saya ada dalam sampul buku 'Jakarta Kafe' dan menjadi salah satu alasan mengapa saya tertarik untuk membeli dan membacanya, sejak saya tidak tau, belum pernah dengar sama sekali dengan yang namanya Tatyana. So, yes, sometimes I do judge a book by its cover.

'Jakarta Kafe' merupakan sebuah buku dengan 25 cerita pendek di dalamnya. Awalnya, saya mengira kalau semua cerpen dalam buku ini akan ber-setting di sebuah kafe yang sama. Dan entah kenapa saya selalu suka cerita-cerita dengan kafe sebagai latar tempatnya. Jadi, bisa dikatakan, perkiraan saya itulah yang menjadi alasan kedua mengapa saya memutuskan untuk membeli dan membaca buku ini. Namun, ternyata saya salah. Memang ada beberapa cerpen yang latar tempatnya berada di kafe, tapi tidak semua dan tidak di satu kafe yang sama. But, hey, bukan lantas berarti saya merasa kecewa berat dan nggak mau membaca buku ini. Malahan, saya menikmati banget lho bacanya!

Buku ini diawali dengan cerpen berjudul 'Seafood', bercerita tentang seorang wanita berkeluarga yang "diajak" berselingkuh oleh salah seorang rekan kerjanya - dan diakhiri dengan 'Perempuan yang Tidak Suka Bulan Maret', bercerita tentang seorang wanita yang membenci bulan Maret karena sang suami meninggal pada bulan tersebut. Sedangkan, judul buku sendiri diambil dari cerpen dengan judul yang sama; bercerita tentang seorang pria yang terpaksa harus berdesak-desakkan di dalam bus setelah mengantar anaknya bersekolah.

Ketika pertama kali selesai membaca cerpen dalam buku ini, sejujurnya saya sempat mengerutkan kening karena rasanya ceritanya belum selesai. Menggantung. Unsolved. Tapi, setelah membaca cerpen demi cerpen, ternyata ya memang hampir semuanya begitu. Singkatnya, cerpen-cerpen dalam buku ini kayak potongan-potongan kisah kehidupan sehari-hari yang ada di sekitar kita. Mungkin itulah kenapa ketika membacanya, saya rasanya kayak lagi duduk sendirian di sebuah coffee shop, menyeduh kopi, sambil memerhatikan orang-orang di sekitar saya, dan diam-diam sok-sokan "membaca" kehidupan macam apa yang dijalani orang-orang itu.

Umumnya, cerpen-cerpen dalam buku ini bercerita tentang kehidupan orang dewasa; relationship, keluarga, kerja keras, perjuangan, kehidupan sosial, dan sebagainya. Nah, seperti kebanyakan buku kumpulan cerpen lain, tentu ada beberapa cerpen yang menarik perhatian dan beberapa lain yang "lewat" begitu saja. Secara pribadi, saya suka dengan 'Prancis', 'Reuni', 'Java Jive', 'Paycheck', 'Days of Wine and Roses' dan 'Peter Pan'. Bukannya lantas saya nggak suka dengan cerpen-cerpen lain, hanya aja... you know, kurang begitu ngena bagi saya. But, still, saya suka dengan gaya menulis dan bercerita Tatyana yang menurut saya cenderung puitis tapi ringan, renyah, mengalir gitu aja meskipun kadang saya agak gondok juga ketika baca beberapa cerpen yang diakhiri-gitu-aja-padahal-saya-pengen-baca-lanjutannya.

Nah, bagi yang suka mengoleksi dan membaca buku kumpulan cerpen, menurut saya 'Jakarta Kafe' harus ada di rak buku kamu. Sebuah pengalaman baca yang baru dan seru! :)

Friday, June 7, 2013

Review: Eleanor & Park - Rainbow Rowell

Judul: Eleanor & Park
Penulis: Rainbow Rowell
Penerbit: St. Martin's Griffin (E-book)
Tebal: 320 pages
Tahun Terbit: 2013
Rating: 4/5
Goodreads Synopsis:
"Bono met his wife in high school," Park says.
"So did Jerry Lee Lewis," Eleanor answers.
"I’m not kidding," he says.
"You should be," she says, "we’re sixteen."
"What about Romeo and Juliet?"
"Shallow, confused, then dead."
''I love you," Park says.
"Wherefore art thou," Eleanor answers.
"I’m not kidding," he says.
"You should be."

Set over the course of one school year in 1986, ELEANOR AND PARK is the story of two star-crossed misfits – smart enough to know that first love almost never lasts, but brave and desperate enough to try. When Eleanor meets Park, you’ll remember your own first love – and just how hard it pulled you under.
.....

Eleanor merupakan murid baru di sekolahnya. Ia berasal dari keluarga yang, bisa dibilang, broken home. Setelah bercerai dari ayah Eleanor, ibunya menikah lagi dengan seorang pria yang sayangnya tidak lebih baik dari ayah Eleanor. Ia bahkan mengusir Eleanor dari rumah, membuatnya tinggal bersama salah satu relatif keluarga mereka. Kini, setahun setelah kejadian tersebut, Eleanor kembali tinggal bersama ibunya, ayah tirinya dan empat saudaranya. Ketika ia pertama kali harus menaiki bus untuk sampai di sekolah barunya, hampir semua anak tidak mau memberikan tempat duduk baginya. Satu-satunya kursi yang tersisa adalah di sebelah Park, the stupid Asian kid – julukan yang diberikan Eleanor pada cowok itu. Park bukannya dengan senang hati rela membiarkan kursi kosong di sebelahnya terisi, apalagi oleh seorang cewek dengan rambut berwarna merah dan gaya berpakaian yang menurutnya begitu aneh. Bukan. Park hanya terpaksa melakukannya. Meski begitu, sebenarnya Park memperhatikan cewek itu, diam-diam membuat komentar-komentar yang disimpannya dalam hati.

Namun, karena intensitas pertemuan yang tinggi, duduk bersebelahan dengan jarak yang terpaut hanya enam inches di antara mereka, hubungan Park dan Eleanor pun berkembang dengan sendirinya, meski tidak mulus karena sifat tertutup Eleanor terhadap rahasia-rahasianya. Nah, hal tersebut lah yang sering kali bikin saya nggak bisa berhenti membaca novel ini. Cara Rainbow Rowell membangun hubungan dan chemistry di antara Park dan Eleanor terasa smooth banget, jadinya natural dan mengalir aja gitu. Dan penulisan yang dilakukan dengan menggunakan dua sudut pandang merupakan keputusan yang tepat. Saya jadi bisa lebih menyelami dan memahami perasaan mereka masing-masing; apa yang dipikirkan Eleanor terhadap Park, bagaimana perasaan Park terhadap Eleanor, dan sebagainya.

Sedangkan, mengenai karakter, sejujurnya saya merasa sedikit sebal dengan Eleanor. Bukannya saya iri atau gimana (well, a little bit, yes), tapi menurut saya, Eleanor terlalu insecure terhadap dirinya sendiri. Okay, I know she had family problems, kids at school making fun of her because she had red hair and dressed weirdly, but… come on! You could do better than that, Eleanor! Saya nggak membenci karakter Eleanor, kok. Sama sekali nggak. She’s a tough girl, though. Saya cuma pengen ia tau dan sadar bahwa ia jauh lebih baik dari yang ia pikirkan tentang dirinya sendiri, bahwa ia pantas untuk dicintai, baik oleh Park atau siapa pun.

Sedangkan Park…. he’s such a quiet, sweet and caring boy. Half Korean, dengan bola mata berwarna hijau dan rambut hitamnya. Saya suka bagaimana ia begitu peduli pada Eleanor dan tidak pernah menyerah terhadap cewek itu. Park tidak lagi peduli terhadap apa yang dikatakan keluarganya atau orang-orang di sekolahnya tentang Eleanor. Yang ia pedulikan, perhatikan, hanya Eleanor seorang. And those little things that he did to Eleanor…. Saya sampe jejeritan ketika membaca bagian-bagian yang mungkin terdengar sepele tapi bagi saya…. ampuuuuun, manis banget, seperti bagaimana Park sengaja membuka komiknya lebih lebar dan membalik halamannya lebih lama karena ia tau bahwa Eleanor ikut membacanya. Atau ketika Park meminjamkan walkman-nya dan mengenalkannya pada beberapa musik. God, my feeling!

Sayangnya, saya kurang begitu sreg dengan endingnya. Saya suka, sih, karena begitu realistis, tapi saya ngerasa kayak ada yang luput. Kayak ada satu keping puzzle yang hilang. Saya bahkan sempat membaca berulang-ulang bagian akhir buku ini, but, still, saya belum menemukan apa yang kayaknya hilang. Dan saya sendiri juga nggak tau apa yang hilang itu. Denger-denger, sih, Rainbow Rowell akan menulis sekuel dari “Eleanor & Park”. Semoga itu bukan cuma gosip, ya, karena saya masih ingin tau kelanjutan nasib Eleanor dan Park. I need more of them. I just do.

P.S: It feels really good to finally be able to write a book review again! Sebetulnya "Eleanor & Park" sudah selesai saya baca dari, kurang-lebih, sebulan yang lalu. Tapi karakter-karakternya seolah teriak-teriak dalam otak saya, minta untuk ditulis *halah*. Doakan bisa semakin rajin menulis di blog ini, ya! :)