Sunday, February 3, 2013

Review: Will Grayson, Will Grayson - John Green & David Levithan

Judul: Will Grayson, Will Grayson
Penulis: John Green & David Levithan
Penerbit: Speak
Tebal: 310 halaman
Tahun Terbit: 2011
Rating: 4/5
Paperback Synopsis:
One cold night, in a most unlikely corner of Chicago, Will Grayson crosses paths with. Will Grayson. Two teens with the same name, running in two very different circles, suddenly find their lives going in new and unexpected directions, and culminating in epic turns-of-heart and the most fabulous musical ever to grace the high school stage.

.....

Buku ini diceritakan dari dua sudut pandang pria remaja SMA yang memiliki nama sama, yakni Will Grayson yang ditulis oleh John Green dan will grayson yang ditulis oleh David Levithan. Pada suatu malam, Will Grayson dan will grayson—yang sebelumnya tidak pernah saling mengenal—bertemu tanpa sengaja untuk pertama kalinya. Mereka sama-sama terkejut ketika salah satu dari mereka menyebutkan nama. Kisah kedua Will grayson ini ditulis secara bergantian tiap bab, membuat saya pribadi nggak merasa bingung dan dapat menyelami masing-masing karakter secara lebih dalam.

Will Grayson yang pertama merupakan remaja yang cukup normal, cenderung pemalu dan memilih untuk nggak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Ia merasa bahwa hidup akan lebih mudah dijalani dengan tidak ambil pusing dengan orang-orang di sekitarnya. Hal-hal tersebut lah yang membuat saya tahu bahwa Will Grayson with the capital “WG” ini merupakan tulisan John Green, karena sejujurnya Will Grayson sedikit-banyak mengingatkan saya dengan Pudge di “Looking for Alaska” dan Q di “Paper Towns”—which I actually liked, no matter what people said about those characters. :p Yang juga membuat kisah Will Grayson menarik untuk dibaca adalah adanya kehadiran Tiny Cooper, sahabat Will Grayson yang berbadan besar (berbanding terbalik dengan namanya!), unik, ajaib, menyenangkan dan merupakan seorang homoseksual.

Sedangkan will grayson versi David Levithan memiliki kisah yang lebih gloomy. He always looked sad, depressed and complicated. Ia juga merupakan seorang homoseksual yang tidak ingin diketahui oleh orang lain—terutama orang-orang di sekitarnya. Bukan karena ia malu, tapi lebih karena ia merasa bahwa hal tersebut bukanlah urusan orang lain. Seluruh kisah will grayson ditulis menggunakan huruf kecil. Setiap percakapannya bahkan tidak menggunakan tanda baca seperti yang biasa saya lihat dalam berbagai novel, melainkan hanya menggunakan tanda baca “titik dua”. Namun, di balik eksterior keras yang ditunjukkan oleh will grayson, menurut saya ia hanya merasa kesepian. Sebenarnya ia bahkan merupakan seseorang yang baik dan cukup lembut—apalagi ketika menyangkut hal-hal tentang… well, love.

Buku ini merupakan karya kedua David Levithan yang saya baca setelah “The Lover’s Dictionary”. Makanya saya kurang tau bagaimana gaya Levithan menulis karakter-karakter dalam novelnya, mengingat bahwa “The Lover’s Dictionary” berisi tentang kehidupan cinta seorang lelaki yang diceritakan menggunakan format kamus. Nah, sejak awal membaca “Will Grayson, Will Grayson” dan saya tau bahwa kedua karakter dalam buku ini ditulis oleh dua penulis berbeda, saya sudah yakin banget bahwa saya pasti akan lebih menyukai Will Grayson versi John Green. But, in the end, I had to say that I love will grayson, too! I love Will Grayson, I love will grayson, I LOVE THEM BOTH! I felt like I could relate myself to both of them. Ada beberapa hal, baik dari Will Grayson maupun will grayson, yang mengingatkan saya dengan diri saya sendiri. 

Selain karena karakter-karakter yang bagi saya begitu lovable, hal yang membuat saya betah membaca buku ini adalah ceritanya; sederhana tapi meaningful. Saya bisa ngerasain bagaimana Will Grayson dan will grayson, di usia remaja mereka, berusaha untuk menemukan jati diri dengan cara masing-masing... bagaimana jatuh-bangunnya mereka. Itulah kenapa penulisan kisah Will Grayson dan will grayson yang dilakukan secara bergantian tiap bab, menurut saya, cerdas banget.

Namun, saya agak menyayangkan karakter Will Grayson yang pesonanya agak tertutup oleh Tiny Cooper. Well, Tiny Cooper memang muncul juga dalam bagian will grayson, namun tidak sampai membuat karakter will teralihkan. Bukan berarti saya jadi nggak suka dengan karakter Tiny. He’s nice, funny, cheerful and friendly. I even wondered how it felt like to have a best-friend like him. Saya mau satu yang kayak Tiny dalam hidup saya! …Tapi saya tetep menyayangkan hal tersebut. Saya bahkan kadang ngerasa kalau buku ini sebenarnya secara umum menceritakan tentang Tiny Cooper—terutama ketika memasuki bagian akhir buku.

Nah, menyangkut bagian akhir, saya sendiri bingung harus bersikap gimana. Saya ngerasa suka dan kurang sreg pada saat bersamaan, tapi saya nggak punya ide ending yang lebih baik untuk buku ini. Sejujurnya saya tersenyum seneng ketika selesai membacanya, namun di sisi lain saya juga ngerasa bahwa ending-nya terlalu… hmm, dreamy? Terlalu mirip film? Oh, I know! Terlalu… Glee, mungkin? No?

But, well, I still love this book. Saya suka bagaimana Will Grayson dan will grayson berusaha mencari jati diri dan menghadapi kehidupan dengan cara masing-masing—dan bagaimana hal itu mengingatkan saya sama diri saya sendiri. Saya suka bagaimana Tiny Cooper sering kali membuat cerita dalam buku ini menjadi lebih light up. Saya suka bagaimana gaya bercerita John Green dan David Levithan membuat saya ketawa, terharu, senyum-senyum sendiri, bahkan ikutan marah.

So... I appreciate you, John Green and David Levithan, eventhough my name is not Will Grayson!

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete