Sunday, February 10, 2013

Review: An Abundance of Katherines - John Green

Judul: An Abundance of Katherines
Penulis: John Green
Penerbit: Speak
Tebal: 229 halaman
Tahun Terbit: 2006
Rating: 3,7/5
Paperback Synopsis:
When it comes to relationships, Colin Singleton's type is girls named Katherine. And when it comes to girls named Katherine, Colin is always getting dumped. Nineteen times, to be exact. On a road trip miles from home, this anagram-happy, washed-up child prodigy has ten thousand dollars in his pocket, a bloodthirsty feral hog on his trail, and an overweight, Judge Judy-loving best friend riding shotgun - but no Katherines. Colin is on a mission to prove The Theorem of Underlying Katherine Predictability, which he hopes will predict the future of any relationship, avenge Dumpees everywhere, and finally win him the girl.

.....

Selama hidupnya, the washed-up child prodigy Colin Singleton telah memacari sembilan belas cewek yang, weirdly true, semuanya bernama Katherine. Sayangnya, pada hari kelulusan SMA-nya, Katherine XIX mencampakkannya, membuatnya merasa begitu sakit hati dan depresi. Hassan, sahabat Collin, pun berinisiatif untuk mengajak Colin melakukan road trip. Selama beberapa hari, mereka hanya mengendarai mobil tanpa tujuan pasti. Hingga ketika tiba di Gutshot, Tennessee, Colin dan Hassan memutuskan untuk stay karena hal menarik yang ditawarkan kepada mereka. Bersama cewek bernama Lindsey yang mereka kenal di sana, Hassan dan Colin pun menjalani "petualangan" yang, bisa dibilang, cukup dadakan. Di sisi lain, Colin yang masih merasa sakit hati akan putusnya hubungannya dengan Katherine XIX, sedang berusaha untuk membuktikan The Theorem of Underlying Katherine Predictability, yang ia harap dapat digunakan untuk memprediksi masa depan suatu hubungan.

Sejujurnya saya sempat mengernyitkan kening, keheranan, ketika tau bahwa kesembilanbelas cewek yang pernah dipacari Colin, semuanya bernama Katherine. Tapi, di sisi lain, hal tersebut justru terdengar unik dan malah membuat saya tertarik untuk langsung meng-klik tombol 'buy' di website Periplus! Hahaha! Mungkin terdengar aneh dan nggak mungkin, ya, sembilan belas pacar dengan nama yang persis sama—dan semuanya selalu berakhir dengan kurang bahagia. Poor, poor Colin boy.

Untungnya ada Hassan yang dengan ikhlas membantu mengurangi rasa sakit hati Colin dengan mengajaknya melakukan road trip. Nah, ini nih yang menurut saya menjadi kekuatan dari buku ini, yaitu friendship antara Colin dan Hassan yang cukup kuat dan bikin saya salut. Lagi-lagi John Green berhasil menciptakan—dan mempertahankannya sepanjang cerita—chemistry antara sang tokoh utama dan sahabatnya. Apalagi, kali ini, latar belakang kedua orang tersebut begitu berbeda; Colin separuh jewish, sedangkan Hassan merupakan seorang muslim—bukan teroris. Mereka berdua masing-masing punya rasa toleransi yang cukup tinggi sehingga dapat menghargai satu sama lain. Mereka bahkan mempunyai sebuah kata random yang digunakan apabila ada perlakuan dari mereka berdua yang dirasa keterlaluan. Sweet, riiiiight? Namun, bukannya lantas mereka jadi nggak pernah bertengkar. They did, of course, tapi alasannya bukan karena perbedaan latar belakang tersebut. Di sisi lain, adanya perselisihan-perselisihan itu lah yang sering bikin saya ketawa ketika membacanya. Untuk hal ini, Hassan successfully stole Colin’s spotlight! Berbanding terbalik dengan Colin yang lumayan serius, doyan menyendiri sambil membaca, geeky dan anagram-happy, Hassan merupakan orang yang doyan banget bercanda, bahkan ketika ia lagi marah. Hmm, intinya sih mereka melengkapi satu sama lain.

Sedangkan, mengenai jalan ceritanya, John Green menggunakan alur maju-mundur. Kita diajak flashback ke masa-masa tentang bagaimana awalnya Colin dikenal sebagai child prodigy, bagaimana ia bertemu dengan Katherine pertamanya, mengapa ia sangat menyukai anagram, dan masih banyak hal lainnya. Awalnya saya ngerasa bahwa bagian flashback ini kurang begitu penting dan berpengaruh dengan bagian yang masa sekarang, tapi seiring berjalannya cerita, semakin saya terus baca… well, those flashback stories did matter. Jadi, saran saya, sih, membaca “An Abundance of Katherines” ini nggak usah terlalu dipikirin. Just let the story floooow. Saya aja nggak kerasa bacanya, tiba-tiba udah mau habis. Padahal, awalnya, sejujurnya saya agak meng-underestimate buku ini karena banyak review yang bilang kalau “An Abundance of Katherines” is the least favorite book of John Green.

Oh ya! Bagi yang kurang begitu suka dengan matematika (kayak saya :p), jangan kaget ketika menemukan banyak persamaan atau grafik matematika dalam buku ini. Selama berada di Gutshot, Tennesse, Colin berusaha untuk membuktikan The Theorem of Underlying Katherine Predictability menggunakan berbagai macam formula matematika. Sebetulnya hal yang dilakukan Colin tersebut menarik banget, tapi karena dasarnya saya kurang tertarik dengan begituan, makanya saya kadang sengaja men-skip bagian tersebut. Daaaan, satu lagi. I was a bit pissed off by the tiny annotations on the bottom of the book. Jadi, membaca buku ini juga menurut saya butuh ketekunan dan kesabaran yang cukup tinggi. Hahaha! Well, mungkin itu cuma saya aja, sih, soalnya saya termasuk orang yang kurang sabaran.

In the end, I have to follow the trend and say that by far, “An Abundance of Katherines” is my least favorite book of John Green, but it’s still very very worth to read and I thoroughly enjoyed it. So, if you haven’t read this book, what are you waiting for, sitzpinkler?

2 comments:

  1. bener... buku ini ga perlu pake mikir bacanya. padahal ada rumus matematikanya segala. tapi saya takjub, urusan cinta dijadiin rumus :D

    ReplyDelete
  2. Ah, sama! Tapi menurutk memang buku ini nggak semenakjubkan buku-buku John Green yang lain, ya.

    ReplyDelete