Monday, July 13, 2015

Review: Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991 - Pidi Baiq

Judul: Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit: Pastel Books
Tebal: 344 halaman
Tahun Terbit: 2015
Rating: 3.5/5
Paperback Quotes:
"Jika aku berkata bahwa aku mencintainya, maka itu adalah sebuah pernyataan yang sudah cukup lengkap."
-Milea

"Senakal-nakalnya anak geng motor, Lia, mereka shalat pada waktu ujian praktek Agama."
-Dilan

.....

I honestly have mixed feelings about this book.

Para fans Dilan pasti tau kalau buku “Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991” ini merupakan sekuel dari “Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990”—yang pernah saya tulis review-nya di sini. Cerita dari buku kedua ini dimulai pas dari ending buku pertama, yaitu ketika Milea resmi berpacaran dengan Dilan. Tidak cukup hanya secara lisan, mereka juga menyatakannya di atas kertas bermaterai. Untuk dokumen perasaan, kata Dilan. Nah, setelah “peresmian” hubungan mereka di warung Bi Eem, Dilan pun mengantar Milea pulang menggunakan sepeda motornya. Adegan boncengan naik motor berdua ini, yang tentu aja terjadi nggak hanya sekali, menjadi salah satu hal favorit saya dari buku kedua ini, karena percakapan absurd nan manis khas Dilan-Milea seringnya terjadi di atas motor!

"'Aku bisa menyihir kamu jadi tambah erat meluknya,' katanya.
'Gak usah disuruuuh…,' kataku berseru bagai bisa menembus suara hujan.
'Kenapa?' tanya Dilan.
'Bisa sendiriiiiii!!!'"

HAHAHAHAH sumpah ya, adegan-adegan macam begitu tuh yang suka bikin saya nyeletuk, “Sa ae lu, Dilan.” :)) Tapi, tentu aja hubungan Dilan dan Milea nggak selamanya manis begitu. Kang Adi, guru les privat Milea di buku pertama, masih saja berusaha untuk PDKT dengan Milea. Belum lagi ada tokoh baru bernama Yugo, saudara jauh Milea, yang ternyata juga menyukai gadis itu. Well, sejujurnya saya kurang bisa membayangkan cantiknya Milea itu seperti apa, tapi kayaknya cantik buanget, kok sampai seorang calon guru magang di sekolahnya pun ikutan naksir. Namun, masalah terbesar yang muncul dalam hubungan Dilan dan Milea bukan berasal dari fans Milea—justru Dilan lah sumbernya! Masih ingat, kan, kalau Dilan itu ikutan geng motor? Berulang kali Milea menegur Dilan bahwa ia nggak suka kalau Dilan bergabung dengan geng motor, karena Dilan jadi doyan berantem dan ujung-ujungnya membuat Milea khawatir. Awalnya, jujur aja saya menganggap sepele masalah ini karena saya pikir, “Ah, pasti ntar Dilan juga nurut. Dilan kan sayang banget sama Milea.” LAH KOK MALAH NGGAK SELESAI-SELESAI WTF?! Yang jelas, masalah Dilan dan geng motor ini berpengaruh banget ke ending bukunya yang—sumpah!—bikin sedih banget. Padahal saya udah kena spoiler endingnya bahkan sebelum beli bukunya, tapi tetep aja ngerasa nyesek pas selesai baca. Kalau buku pertama bikin perasaan saya berbunga-bunga, buku kedua ini sukses bikin saya patah hati. Siap-siap aja.

Sama seperti buku pertama, buku kedua ini juga ditulis dari sudut pandang Milea. Jadi sebetulnya seluruh kisahnya dengan Dilan di tahun 1990 dan 1991 merupakan flashback, sedangkan Milea masa kini berada di tahun 2015. Pada bagian awal buku kedua ini, Milea juga sedikit menceritakan kembali kisahnya dengan Dilan di buku pertama, kayak semacam perkenalan singkat. Di satu sisi, hal tersebut dapat membantu mereka yang nggak membaca buku pertama untuk bisa tetap nyambung dan menikmati kisah Dilan dan Milea di buku kedua ini. Di sisi lain, para pembaca yang mengikuti dari buku pertama bisa saja bosan dan merasa bahwa hal tersebut malah bersifat repetitif. Kalau saya sendiri sih nggak merasa terganggu, justru senang karena bisa sedikit nostalgia dengan zaman PDKT Dilan dan Milea. EHEHEHEHE.

YA GIMANA KAN, justru cara PDKT-nya Dilan di buku pertama itu yang bikin saya jatuh cinta banget sama dia. Bener-bener yang jatuh cinta head over heels karena bagi saya Dilan itu karismatik. Sayangnya, di buku kedua ini, karisma itu seolah hilang. Nggak hilang, sih, tapi agak mengabur. Mungkin karena frekuensi kemunculan si Dilan nggak sebanyak di buku pertama, selain karena karakternya yang memang menurut saya jadi melemah justru ketika konfliknya lebih berkembang. Tapi, tenang aja, Dilan masih unik, kok, masih doyan ngegombalin Milea, pemikirannya masih nyeleneh tapi masuk akal, masih suka bicara hal-hal absurd, masih sesekali nulis puisi. Saya suka juga dengan hubungan Dilan dan Bunda yang kayaknya asik banget. 

"'Dia itu diam, bukan karena baik.'
‘Karena apa?’
'Karena, gak berani. Karena, takut. Gak siap dimarahin.'
Aku diam.
'Harusnya, dia juga dimarah karena penakut. Dunia butuh orang pemberani. Yes?'
Aku diam.
'Kamu pikir bandel itu gampang? Susah. Harus tanggung jawab sama yang dia udah perbuat,' kata Dilan lagi."

"'Gimana, ya?' Dilan bagai mikir. 'Dulu, waktu kecil,' Dilan mengenang. 'Aku nyuruh Disa ngambil tas di kamar. Terus, si Bunda bilang, jangan nyuruh-nyuruh, katanya, kerjain sendiri.'
'Itu, sih, negur, bukan marah.'
'Iya. Nah, waktu si Bunda nyuruh aku shalat, aku jawab aja: Bunda, jangan nyuruh-nyuruh! Kerjain sendiri.'"

HAHAHAHAH kampret emang si Dilan. Tapi saya suka dengan Bunda yang juga dekat dengan Milea, bikin pengin punya mertua kayak Bunda yang pengertian banget. Sayangnya, karakter Milea seolah-olah "mengikuti" melemahnya karakter Dilan. Tentu aja ia masih cantik dan pintar, tapi ada saat-saat di mana saya mengerutkan kening dan berpikir, "Kok Milea gini, sih?" Saya ngerasa dia jadi lebih.... drama. Ada beberapa sikapnya terhadap kejadian-kejadian tertentu yang menurut saya terlalu berlebihan. Kayak pas Yugo dan Ibunya datang ke rumah Milea untuk meminta maaf atas tindakan buruk yang dilakukan Yugo terhadap Milea. Lalu tiba-tiba Dilan datang dan Milea langsung aja menggaet Dilan ke tengah-tengah ruang tamu, yang saat itu di sana juga ada Ayah dan Ibu Milea. Nggak hanya memperkenalkan Dilan, Milea juga dengan lantang bilang bahwa Dilan adalah pelindungnya, bahwa Dilan membela dirinya hingga terluka. Ya, saya tau kamu bangga dengan Dilan, Milea, tapi nggak usah segitunya juga. Yang jelas saya ngerasa bahwa Milea jadi lebih emosional di buku kedua ini.

Mengenai ending, sejak selesai baca buku pertama dan tau bahwa kisah Dilan memiliki sekuel, sejujurnya saya udah menduga bahwa akhir cerita Dilan dan Milea bakal seperti itu. Setelah itu saya juga kena spoiler di Twitter—yang ternyata bener sesuai dugaan saya. TAPI YA TETEP NGGAK TERIMA DAN SEDIH BANGET AJA GITU PAS SELESAI BACA. Saya beli buku kedua ini tanggal 9 Juli lalu, bareng temen saya yang dulu juga baca buku pertamanya. Malemnya, saya ngebut baca karena nggak sabar banget pengin tau lanjutan cerita Dilan dan Milea. Besoknya, pas akhirnya selesai baca, saya mewek sendirian karena teman saya masih separuh jalan bacanya. Begitu dia selesai, dia langsung kirim chat ke saya, marah-marah pake capslock, katanya nggak bisa move on. I think it was her first ever book hangover she's ever experienced. :)) Saya sendiri bahkan belum sanggup mau baca buku yang lain, masih kebayang-bayang Dilan dan Milea—terutama Dilan. Mungkin setelah ini saya mau baca ulang buku Dilan yang pertama, mau menetralisir perasaan biar nggak terlalu patah hati.

P.S: Denger-denger Pidi Baiq mau menulis kisah Dilan dan Milea dari sudut pandang Dilan. SEMOGA ITU BENER, YA! Aamiin? Aamiin!