Monday, August 27, 2012

Words of the Day

"...What really knocks me out is a book that, when you're all done reading it, you wish the author that wrote it was a terrific friend of yours and you could call him up on the phone whenever you felt like it."  
-Holden Caulfield (The Catcher in the Rye by J. D. Salinger) 

Saturday, August 25, 2012

Review: Paper Towns - John Green

Judul: Paper Towns
Penulis: John Green
Penerbit: Speak
Tebal: 305 halaman
Tahun Terbit: 2009
Rating: 5/5
Paperback Synopsis:
Quentin Jacobsen has spent a lifetime loving the magnificently adventurous Margo Roth Spiegelman from afar. So when she cracks open a window and climbs back into his life--dressed like a ninja and summoning him for an ingenious campaign of revenge--he follows.

After their all-nighter ends and a new day breaks, Q arrives at school to discover that Margo, always an enigma, has now become a mystery. But Q soon learns that there are clues--and they're for him. Urged down a disconnected path, the closer he gets, the less Q sees of the girl he thought he knew.

.....

Sebetulnya, sebelum lebaran tiba, saya sudah selesai membaca 'Paper Towns'. Namun, karena masih harus mempersiapkan keperluan lebaran, bekal mudik, dan lain-lain, makanya baru bisa nulis review-nya sekarang. Hehehe. Jadiii, mohon maaf lahir dan batin, ya! Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H bagi yang merayakan! *telat* :p

'Paper Towns' berkisah tentang seorang laki-laki remaja bernama Quentin Jakobsen yang jatuh cinta pada Margo Roth Spiegelman, tetangganya, sejak mereka masih kecil. Seiring dengan berjalannya waktu, dengan Margo yang cukup populer dan semua sifat geek yang dimiliki Q, hubungan mereka berdua menjadi semakin menjauh. Pada suatu malam, Margo secara tiba-tiba menyelinap menemui Q melalui jendela kamar cowok itu. Ia meminta bantuan pada Q untuk meminjamkannya mobil - dan menemaninya - berkeliling kota demi menunaikan misi balas dendam pada beberapa orang yang telah menyakiti hatinya. Q tentu saja tidak dapat menolak permintaan Margo tersebut. Seluruh hal menakjubkan yang terjadi pada malam itu membuat Q jadi merasa lebih memahami Margo. Anehnya, pada keesokan paginya, Margo malah menghilang. Dengan dibantu oleh tiga orang teman dekatnya, Q berusaha memecahkan berbagai klu yang, ia yakini, sengaja dibuat oleh Margo khusus untuknya karena cewek itu ingin Q menemukan dirinya. Namun, semakin jauh Q melangkah, semakin ia sadar bahwa Margo begitu berbeda dengan yang diketahuinya dan dipikirkannya selama ini. Bahwa selama ini, Q hanya melihat Margo sesuai dengan apa yang dirinya sendiri proyeksikan tentang cewek itu.

Sejujurnya, setelah membaca 'The Fault in Our Stars' yang bagi saya juara banget itu, saya nggak menaruh eskpektasi yang terlalu tinggi terhadap 'Paper Towns'. Saya ngerasa sedikit khawatir juga: gimana kalau ceritanya membosankan? Gimana kalau saya berhenti membaca di tengah jalan? - and there were still many 'how if' that crossed my mind at that time. Tapi, begitu saya buka bukunya, saya malah nggak sadar sudah membaca sekian halaman dan saya menikmati itu! Banget! 'Paper Towns' memang bukan 'The Fault in Our Stars' yang cukup mengharukan, sebaliknya, 'Paper Towns' malah cukup sering bikin saya tegang. Lagi-lagi gaya bercerita John Green bikin saya ikut larut dalam usaha menemukan Margo di buku ini. Saya suka bagaimana John Green konsisten merajut kata-kata yang begitu youngish, funny, tapi juga masih banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil.

Dan saya harus memberikan applause pada John Green atas karakter-karakternya dalam 'Paper Towns' ini. Saya jatuh cintaaaa! Memang nggak semuanya lovable, sih, ada juga yang bikin sebel dan gregetan, tapi mereka terasa pas banget aja gitu. Like, each character really fits the story very well. Dalam buku ini, Margo adalah satu-satunya karakter yang saya suka tapi juga saya benci. Saya suka bagaimana dia digambarkan begitu vulnerable di balik eksteriornya yang ceria, ceplas-ceplos, dan restless. Tapi saya terkadang juga sebel dengan keegoisannya yang kayaknya nggak tau waktu banget itu, pake kabur-kaburan segala tanpa pikir panjang dulu. But if Margo didn't disappear, then where would the story come from?

Karakter favorit saya udah jelas banget deh: Quentin. Saya suka sifat geek-nya dan *spoiler!* bagaimana dia rela tidak menghadiri wisuda kelulusan SMA-nya demi menemukan Margo. Salah satu sahabat Q yang bernama Ben juga terkadang mencuri spotlight sang tokoh utama. Tiap kata yang keluar dari mulutnya hampir selalu bikin ketawa. Keanehan dan kelucuannya lah yang sering mencairkan suasana dalam berbagai adegan yang cukup serius dan menegangkan. Lalu, Radar, sahabat Q yang lain, memiliki karakter yang bertolak belakang dengan Ben, seolah saling melengkapi. Radar merupakan orang yang cukup serius, internet genius, namun tidak "selurus" Q yang kurang doyan menghadiri berbagai macam pesta atau acara yang ramai. Untuk hal tersebut, Radar kompak dengan Ben. Namun, kedua lelaki tersebut begitu kompak membantu Q untuk mencari Margo. Persahabatan mereka memang nggak mengandung hal-hal semacam bromance gitu, sih, tapi saya suka dengan interaksi antar mereka bertiga. Terasa real.

Meski saya cukup sebel dengan beberapa karakter dalam 'Paper Towns', namun saya harus ngaku bahwa setelah selesai membaca buku ini, I found myself cope hardly with reality. I couldn't even start reading a new book for the next few days. I was like, "What will happen with Q and Margo next?" 'Paper Towns' juga mengingatkan saya bahwa kita (seharusnya) nggak boleh merasa kecewa apabila orang-orang yang ada di sekitar kita, bahkan yang dekat dengan kita dan sudah kita kenal lama, tiba-tiba berubah. Karena bisa saja hasil dari perubahan tersebut merupakan "wajah asli" mereka dan kita terlalu terpaku dengan proyeksi pikiran kita tentang mereka, sehingga kita merasa kecewa karena mereka menjadi berbeda dengan apa yang kita pikirkan.

Wednesday, August 15, 2012

Review: The Fault in Our Stars - John Green

Judul: The Fault in Our Stars
Penulis: John Green
Penerbit: Dutton Books
Tebal: 318 halaman
Tahun Terbit: 2012
Rating: 5/5
Book Synopsis:
Despite the tumor-shrinking medical miracle that has bought her a few years, Hazel has never been anything but terminal, her final chapter inscribed upon diagnosis. But when a gorgeous plot twist named Augustus Waters suddenly appears at Cancer Kid Support Group, Hazel s story is about to be completely rewritten.

.....

I don't know what to write, actually. "The Fault in Our Stars" is my very first John Green's. Dan sebenarnya ceritanya standar, tentang anak perempuan berumur 16 tahun yang mengidap thyroid cancer stadium empat bernama Hazel Grace Lancaster. Ia begitu sadar bahwa dirinya bisa "pergi" kapan saja, dan ia sudah siap akan hal tersebut. Saat menghadiri Support Group, Hazel bertemu dengan Augustus Waters, seorang anak laki-laki berumur 17 tahun yang sedang dalam masa pemulihan dari penyakit osteosarcoma-nya. Sejak saat itu, baik hidup Hazel maupun Augustus pun tak lagi sama.

Kalau baca ringkasan ceritanya aja, mungkin novel ini terkesan melankolis dan cengeng banget. Well, kalau melankolis, mungkin iya. Tapi... cengeng? I don't think so. Cara John Green merajut kata demi kata terasa enak banget untuk dibaca. Asyik. Nggak membosankan. Dan... nggak cengeng. Sejujurnya memang "The Fault in Our Stars" ini bikin saya sempat nangis walaupun nggak sampai tersedu-sedu. Cuma sebatas berkaca-kaca. But, still, nggak cengeng. Di satu sisi, novel ini memang heartbreaking banget deh, apalagi ketika - spoiler! - mulai masuk bagian-bagian terakhir. Namun, di sisi lain, membaca kisah Hazel dan Augustus ini terasa heartwarming sekali. Bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama, saling menguatkan, berdiskusi tentang hidup dan kehilangan, pujian-pujian serta humor-humor yang saling mereka lontarkan, dan lain-lain. Nggak kehitung deh berapa kali saya mendesah penuh keharuan *lebay* sambil memegangi dada ketika membaca novel ini. :')

Saya juga sukaaaa sama karakter-karakter di novel ini. Terasa nyata. Hazel yang realistis, Augustus yang ceria, dan bagaimana kedua orangtua mereka begitu protektif dan cemas terhadap mereka... digambarkan dengan cukup baik oleh John Green. I love how they interact to each other! Rasanya kayak lagi dengerin mereka bercakap-cakap aja gitu. Dan dari percakapan-percakapan tersebut, saya pribadi jadi menemukan banyak quotes keren yang benar-benar relatable banget sama kehidupan ini! 

Well, mungkin saya menilai novel ini terlalu berlebihan. Tapi, bukannya pada akhirnya semua balik lagi ke selera masing-masing? Hehehe. Yang jelas, satu pesan yang nancep banget di pikiran saya, yang sekaligus merupakan salah satu quotes favorit saya dalam novel ini adalah bahwa, "The world is not a wish-granting factory."

Menurut saya, inti kekuatan dari "The Fault in Our Stars" ada pada kelebihan John Green dalam meracik kata-kata. Dan hal tersebut lah yang membuat saya ingin membaca karya-karyanya yang lain. I already bought his "Paper Towns" and I'll read it as soon as I can. I will.

Thursday, August 9, 2012

Review: With You - Christian Simamora & Orizuka

Judul: With You
Penulis: Christian Simamora & Orizuka
Penerbit: GagasMedia
Tebal: 316 halaman
Tahun Terbit: 2012
Rating: 3,5/5
Paperback Synopsis:
365 hari dalam setahun,
24 jam dalam sehari.

di antara semua waktu yang kita punya,
kau sengaja memilih hari itu.

keluar dari mimpi indah,
lalu hadir dalam hidupku...

sebagai cinta yang selama ini aku tunggu.

.....

This is my first time reading Gagas Duet novel! Awalnya saya kira dalam novel ini, Christian Simamora dan Orizuka menuliskan cerita yang sama. Mungkin nulisnya gantian, entahlah. Makanya, saya pilih 'With You' sebagai novel Gagas Duet yang saya baca untuk pertama kali karena penasaran dengan karya kolaborasi tulisan dari Christian Simamora dan Orizuka, which is yang satu begitu blak-blakan, satunya lagi cenderung lebih kalem. Ternyataaa, novel ini terdiri dari dua cerita berbeda, nggak berkelanjutan. Tetapi, tema yang digunakan sama dan ada hubungan antara tokoh utama di kedua cerita tersebut.

'With You' diawali dengan kisah berjudul 'Cinderella Rockefella' yang ditulis oleh Christian Simamora. Cinderella Tan, atau yang biasa dipanggil Cindy, adalah seorang model papan atas Indonesia. Suatu hari, usai menjalani sebuah pemotretan, seorang cowok bernama Jere, yang merupakan seorang model juga, menghampirinya dan mengajaknya untuk dinner bersama. Meski awalnya bersikap jutek dan ketus, namun akhirnya ia mengiyakan ajakan Jere tersebut. Dan Cindy nggak menyesali keputusannya itu. Selama dinner berlangsung, pesona Jere yang begitu kuat berhasil membuat Cindy kagum dan luluh. Ia pun sadar bahwa hatinya telah jatuh pada cowok itu.

Sedangkan kisah kedua yang ditulis oleh Orizuka berjudul 'Sunrise', menceritakan tentang seorang gadis bernama Lyla yang secara tidak sengaja bertemu sang mantan padahal ia sedang dalam misi moving on. Bagi sepupu Cindy tersebut, melupakan segala kenangan yang terjadi selama empat tahun dengan Juna, mantan pacarnya, bukanlah hal yang mudah. Apalagi ketika alasan Juna memutuskannya adalah hanya karena mereka sudah terlalu lama bersama. Lyla pun akhirnya memutuskan untuk berangkat sendiri ke Karimun Jawa, demi usahanya membebaskan diri dari sosok dan kenangan akan Juna. Maka, pertemuannya dengan Juna di pulau itu membuat pertahanan Lyla goyah; bagaimana dirinya bisa melupakan Juna apabila cowok itu berada begitu dekat dengannya?

Sejujurnya saya menaruh harapan yang lumayan tinggi untuk buku ini, mengingat nama kedua penulis yang sudah cukup sering malang-melintang di dunia tulis-menulis. Dan, saya harus mengakui bahwa saya cukup puas dan menikmati pengalaman baru saya dalam membaca novel Gagas Duet 'With You' ini. Dua cerita berbeda, dua penulis, namun dengan tema yang sama dan masih saling berhubungan. Dalam novel ini, tema yang diangkat sudah tertera jelas di sampul depan: 'With You: Sehari Bersamamu', tentang bagaimana cinta terjadi hanya dalam satu hari. Dan menurut saya kedua cerita dalam buku ini sudah pas sekali dengan tema yang dipilih: Cindy yang menemukan prince charming-nya dalam satu hari saja dan bagaimana banyaknya hal yang terjadi dalam sehari membuat tekad Lyla untuk melupakan sang mantan menjadi goyah.

Yang hebat adalah penggambaran para karakter yang cukup kuat dalam buku ini, baik di 'Cinderella Rockefella' maupun 'Sunrise', meskipun kisah keduanya cukup singkat. But, since this book is contained of two different stories, written by two authors, then I can't help myself but compare them. Dan saya, personally, lebih menyukai 'Sunrise'. Menurut saya, kisah yang ditulis oleh Orizuka tersebut berhasil membuat perasaan saya terhanyut dan lebih sering membuat saya senyum-senyum sendiri. Bukannya saya terus jadi nggak suka sama 'Cinderella Rockefella' yang ditulis Christian Simamora. Tentu aja enggak. Kisahnya memang lebih fun dan blak-blakan, hanya aja, menurut saya karakter Cindy itu terlalu bitchy. Dan entah kenapa saya selalu kurang bisa menaruh simpati terhadap karakter semacam itu. Hehehe.

Cuma masalah selera aja sih ya menurut saya. Bagi yang belum pernah baca novel Gagas Duet terbitan GagasMedia, 'With You' karya Christian Simamora dan Orizuka pas banget untuk dijadikan pilihan pertama. Saya jadi ketagihan mau baca novel-novel Gagas Duet yang lain. Ihiy!

Saturday, August 4, 2012

Review: 23 Episentrum - Adenita

Judul: 23 Episentrum
Penulis: Adenita
Penerbit: Grasindo
Tebal: Novel (278) & Suplemen (206)
Tahun Terbit: 2012
Rating: 3/5
Paperback Synopsis:
"Seseorang yang merasa sudah melakukan pencapaian dalam hidupnya, biasanya akan terus bersemangat untuk melakukan pencapaian lainnya. Tularkan energimu... energi besar yang kamu miliki. Hidupkan impian orang lain, bangunkan dari mati suri... Jangan biarkan dia mati!"

23 Episentrum adalah buku 2 in 1. Berisi novel yang bercerita perjalanan 3 orang anak muda untuk mengejar profesi yang dicintainya. Perjalanan Matari, Awan, dan Prama dalam mengejar ambisi dan eksistensi. Mengungkap makna hidup dan menemukan kebahagiaan hingga akhirnya menemukan "23 Episentrum" dalam perjalanannya. Perjalanan mata, hari, dan Hati.

Dan sebuah buku suplemen yang berisi tentang cerita 23 orang anak muda yang memilih melakukan pekerjaannya sesuai dengan apa yang mereka cintai. 23 orang membagi kisahnya. Kisah kecintaan atas apa yang mereka lakukan. Karena mereka percaya, sesuatu yang dilakukan dengan hati akan selalu menghasilkan energi yang tak pernah mati.
.....

First thing first, saya mau buat pengakuan dulu: salah satu alasan saya beli '23 Episentrum' adalah karena tertarik dengan judul dan cover-nya yang eye-catching. Selain itu, saat beli buku ini, I had no idea who Adenita was. Pada awalnya, saya ngerasa familiar, kayak pernah denger. Tapi, karena nggak berhasil mengingat, saya jadi berkesimpulan bahwa Adenita pasti seorang penulis baru. Shame on me, karena begitu saya buka bukunya, saya akhirnya ngeh kalau dia adalah penulis dari '9 Matahari', pemenang Khatulistiwa Literary Award nominasi Penulis Muda Berbakat tahun 2009. Dan saya belum pernah baca buku tersebut. Maaf ya, Adenita...

'23 Episentrum' terdiri dari dua buku: novel dan suplemen. Novelnya sendiri bercerita tentang tiga anak muda yang berjuang untuk menemukan dan mengejar impian mereka. Ada Matari, yang mati-matian mencari penghasilan untuk melunasi utang kuliahnya dengan bekerja sebagai reporter. Lalu Awan, berusaha untuk mewujudkan impiannya sebagai penulis skenario film, namun masih harus terjebak dalam pekerjaannya sebagai pegawai bank. Terakhir, Prama, seorang pekerja di perusahaan minyak yang berlimpah materi, tetapi merasa belum menemukan kebahagiaan dan makna dalam hidupnya. Dengan masing-masing hambatan yang Matari, Awan, dan Prama lalui, mereka tetap saling mendukung dan membantu agar impian mereka cepat tercapai.

I was a lil bit disappointed, actually, karena banyak yang memberikan rating tinggi pada buku ini di Goodreads. Dan, mungkin juga karena ekspektasi saya yang ketinggian. Dengan segala permasalahan yang dimiliki oleh tiap karakter tersebut, menurut saya ceritanya bisa lebih seru dan greget lagi. Usaha Matari dalam melunasi seluruh hutang juga sepertinya mulus banget, membuat saya kurang bisa bersimpati dengan karakter tersebut. Selain itu, proses hubungan Matari dan Prama hanya diceritakan sepotong-sepotong, jadi saya nggak bisa merasakan chemistry di antara mereka berdua. Novel '23 Episentrum' ini juga mengandung banyak sekali percakapan. Ada beberapa bagian yang kurang disertai dengan keterangan atau deskripsi, jadi ketika membacanya, saya ngerasa bingung dan berpikir, "Tunggu, ini yang lagi ngomong siapa, ya?"

Meski begitu, novel ini penuh dengan motivasi dan pelajaran hidup yang bisa kita petik. Menurut saya, novel ini cocok banget dibaca oleh kalangan mahasiswa (terutama yang baru lulus dan akan memasuki dunia kerja) serta orang-orang yang sedang memulai karir, sesuai dengan passion dan keinginan hati mereka masing-masing. Saya suka bagaimana banyaknya kalimat yang bersifat memotivasi dalam novel ini tidak terdengar atau terkesan menggurui. Selain mendorong kita untuk terus mewujudkan mimpi, novel '23 Episentrum' juga mengajarkan kita untuk sering berbagi dan memberi kepada sesama.

Sedangkan buku 'Suplemen 23 Episentrum' berisi tentang kisah-kisah singkat 23 orang dari berbagai profesi tentang perjalanan mereka dalam mewujudkan mimpi dan cita-cita. Mereka adalah bukti-bukti nyata bahwa mimpi benar-benar bisa diraih apabila kita berusaha dengan sungguh-sungguh. Bagi yang suka membaca kisah-kisah nyata inspiratif, 'Suplemen 23 Episentrum' ini cocok sekali. Terlebih, setiap kisah berasal dari profesi yang berbeda, mulai dari guru, jurnalis, pengusaha, diplomat, hingga pilot. Buku ini benar-benar dapat menjadi suplemen bagi mereka yang sedang butuh motivasi dan semangat dalam meraih impiannya.

Jadi, sebenarnya apakah 23 Episentrum itu? Apa kaitannya dengan Matari, Awan, dan Prama? Kamu harus membaca lembar demi lembar halaman buku ini, lalu ikut larut dalam perjalanan mata, hati, dan hari, agar bisa menemukan arti dari 23 Episentrum yang sesungguhnya. ;)

Friday, August 3, 2012

Review: The Catcher in the Rye - J. D. Salinger

Judul: The Catcher in the Rye
Penulis: J. D. Salinger
Penerbit: Little, Brown and Company
Tebal: 214 halaman
Tahun Terbit: 1991
Rating: 4/5
Goodreads Synopsis:
Since his debut in 1951 as The Catcher in the Rye, Holden Caulfield has been synonymous with "cynical adolescent." Holden narrates the story of a couple of days in his sixteen-year-old life, just after he's been expelled from prep school, in a slang that sounds edgy even today and keeps this novel on banned book lists. It begins,

"If you really want to hear about it, the first thing you'll probably want to know is where I was born and what my lousy childhood was like, and how my parents were occupied and all before they had me, and all that David Copperfield kind of crap, but I don't feel like going into it, if you want to know the truth. In the first place, that stuff bores me, and in the second place, my parents would have about two hemorrhages apiece if I told anything pretty personal about them."

His constant wry observations about what he encounters, from teachers to phonies (the two of course are not mutually exclusive) capture the essence of the eternal teenage experience of alienation.
.....

The Catcher in the Rye berkisah tentang seorang laki-laki remaja berumur 16 tahun yang dikeluarkan dari sekolahnya, Pencey Prep, karena tidak lulus ujian. Ia hanya lulus di satu mata pelajaran: Bahasa Inggris. Holden Caufield, anak laki-laki tersebut, sebenarnya tidaklah bodoh, mengingat bahwa Pencey Prep merupakan salah satu sekolah privat terbaik di Pennysilvania. Dan Pencey adalah entah sekolah keberapa yang dimasuki Holden setelah ia dikeluarkan dari sekolah-sekolah sebelumnya dengan kasus yang serupa.

Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Desember, sebelum natal. Sebenarnya Holden masih mempunyai waktu tiga hari sebelum ia benar-benar harus melangkahkan kaki keluar dari Pencey. Namun, karena ia bertengkar dengan salah satu temannya, dan ia sudah merasa sangat muak, akhirnya ia pun pergi lebih cepat. Di tengah rasa bingung dan frustrasi-nya, Holden memutuskan untuk melakukan trip dadakan ke New York. Di sana, ia dipaksa harus berhadapan dengan kesepian, kekecewaan, dan kemarahan yang ia rasakan terhadap dirinya sendiri, serta bagaimana ia berjuang untuk menemukan identitas dan jati dirinya.

Novel ini diceritakan dari sudut pandang Holden, yang sering sekali menggunakan kata-kata umpatan dan caci maki kepada orang-orang yang ditemuinya. Saya bahkan sempat iseng menghitung jumlah kata 'goddam' yang terdapat dalam satu kalimat, saking banyaknya. :p 'The  Catcher in the Rye' juga mengandung banyak banget kata-kata slank semacam 'helluva', 'phony', 'dough' yang membuat novel ini terkesan gaul banget, sehingga ketika membacanya, saya jadi ngerasa seperti sedang mendengarkan curhat dari seorang teman. Di balik segala pilihan kata-kata yang disampaikan oleh Holden dalam kisahnya, sesungguhnya ia bukanlah orang yang jahat. Ia memang nakal, suka bertingkah sok dewasa, namun di beberapa bagian hal tersebut justru membuat saya tertawa atau bahkan terharu. Belum lagi tentang bagaimana sikap aku-benci-dunia yang ditunjukkannya, namun cara ia menyayangi adik perempuannya, Phoebe, terasa begitu heartwarming.

Yang membuat saya agak kecewa adalah ending-nya. Saya masih pengen tau lebih jauh lagi tentang kisahnya Holden, tapi novelnya malah berakhir. Dan, entah kenapa, 'The Catcher in the Rye' sedikit banyak mengingatkan saya dengan 'The Perks of Being a Wallflower' karya Stephen Chbosky. Mungkin karena sama-sama ditulis menggunakan format menyerupai diary meskipun tokoh utama dalam 'The Perks of Being a Wallflower' sangat, sangat berbeda dari Holden.

After all, 'The Catcher in the Rye' is very worth to read. Kalau enggak, bagaimana mungkin novel ini masih dinikmati oleh banyak orang setelah diterbitkan pertama kali lebih dari 50 tahun yang lalu? :)

Thursday, August 2, 2012

Review: Perempuan yang Melukis Wajah - 8 Penutur Hujan

Judul: Perempuan yang Melukis Wajah
Penulis: Ainun Chomsun, Fajar Nugros, Hanny
Kusumawati, Karmin Winarta, M. Aan Mansyur,
Mumu Aloha, Ndoro Kakung, Wisnu Nugroho.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 176 halaman
Tahun Terbit: 2012
Rating: 3,5/5
Paperback Synopsis:
Alangkah banyak cerita yang dapat disampaikan rinai hujan.

Kisah tentang kekasih, perjumpaan, kehangatan. Seorang pengelana yang bertemu belahan jiwanya di bandara perhentian yang ramai. Kekasih yang berbagi kehangatan kala hujan deras mengetuk kaca jendela di luar.

Namun, ada pula cerita tentang perpisahan, kerinduan, dan kenangan. Seorang anak lelaki yang merindukan ibunya setiap kali hujan turun. Sahabat yang merelakan kekasihnya menempuh hidup baru. Seorang perempuan yang mengenang lelakinya dalam lukisan.

Di buku ini terhimpun sebelas cerita cinta dari delapan penulis. Pilihlah tempat untuk membaca. Siapkan secangkir kopi. Mulailah dari halaman mana saja. Dan bila kau mau menajamkan telinga, sayup-sayup akan terdengar derai halus hujan di latar belakang.

Selamat membaca.
.....

'Perempuan yang Melukis Wajah' merupakan buku kompilasi cerpen hasil dari tulisan karya @pasarsapi, @captainugros, @beradadisini, @fanabis, @hurufkecil, @mumualoha, @ndorokakung, dan @beginu. Ada sebelas cerita pendek dalam buku ini dan semuanya memiliki satu benang merah, yakni hujan. Sayangnya, ini mungkin saya aja yang error, tapi entah kenapa saya kurang bisa "nangkep" nuansa hujan-nya. Bahkan, kalau nggak ada kata 'hujan' di sampul buku, saya mungkin nggak bakalan sadar kalau benang merah dalam buku ini adalah hujan.

But, hey, that doesn't mean I couldn't enjoy this book. In fact, I like it!

Seluruh cerpen yang ada dalam buku ini membentuk suatu harmoni yang cukup apik, membuat buku ini pas banget dibaca di malam hari, sambil minum teh hangat, dan bergelung dalam selimut tebal! Meskipun ada satu-dua cerita pendek yang kurang menimbulkan kesan mendalam, namun hal tersebut nggak mengurangi kenikmatan saya dalam membaca buku ini kok. Dan yang cukup menarik perhatian saya adalah Hanny Kusumawati. Ia menyumbang cerpen dengan jumlah paling banyak--tiga buah--dan ketiganya langsung jadi favorit saya: 'Humsafar', 'Enam Jam', dan 'Yang Tertinggal'.

Judul buku sendiri diambil dari karya Karmin Winarta, bercerita tentang seorang wanita yang begitu mencintai pria pasangannya. Oh ya, saya juga suka dengan lay-out 'Perempuan yang Melukis Wajah' ini. Pas. Yang kurang adalah jumlah halamannya. Seandainya aja para penulis mengontribusikan lebih banyak karyanya. But, in the end, what matters is how you can get such a good personal experience from reading a book, right? Karena, bagi saya, membaca buku ini efeknya sama seperti ketika saya selesai mendengarkan album Battle Studies-nya John Mayer; rasanya kayak jatuh cinta, patah hati, lalu diselamatkan. Dan siklus itu terus berulang tiap saya membaca cerita pendek baru.

Wednesday, August 1, 2012

Words of the Day

"Do you think being an avid reader is easy? It's not. It's not at all. 
You usually have crush on your schoolmates, right? Well, we fall for fictional characters. Oh things we'll do for them to come alive! If (s)he doesn't know your existence, that hurts but well, you can still see him from afar, right? We can't. We can only see them in words, imagine what they look like. Desperately longing, helplessly being in love. 
And the things we do to our favorite authors. We stalk, we write love letters, we curse their genius brains in secret. It's exhausting! And we count days, weeks, months; we root for the day they publish their latest works, or even announce that they are writing a new one. 
And the expectation! We can't stand but putting our hopes in the sky. We want their works to be good all the time. If they don't, we cry.
Getting a tweet/e-mail/any sign of appreciation from our favorite authors feels like we've just won a lottery. It's just too precious. I would feel like putting "_____ tweeted me" in my achievement column (In fact, I almost did). And we constantly wonder what our favorite authors will be doing by now. Are they eating what I'm eating? Are they even human? 
We also have no control of our inner demons; the other being in ourselves who feeds on new books. Our tendency to hoard. Do you think we don't feel sad of the piles of unread books in our shelves? We weep for them. But we can't help it. We're numb without books. It's not healthy for our wallets. Nor is it for our body. But if we see books and we can't buy or read it, we're like suffocated. You might as well tie us up in chairs and put us in a dark, creepy room and duct-tape our mouths. The feeling isn't unlikely. It's mutual. 
But you should know why we love books that much. 
A book is a house. It offers us blankets, warm clothes, milk, biscuits. It's our friend, our teacher, our enemy, our guardian, our pet. Books are loyal. If you get tired of them, they understand. Maybe you want to go on an adventure, try new things, then may think. Your friends may change, you may change, but books don't. The characters on your favorite books won't. You dump them for a while, they're always waiting. When you miss them, they welcome you open-handed. And it's sad. Knowing you can grow up, study hard, earn money, get married, have kids. They don't, unless their creators want them to."
-@ndarow 

Review: Twivortiare - Ika Natassa

Judul: Twivortiare
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 360 halaman
Tahun Terbit: 2012
Rating: 4/5
Paperback Synopsis:
“Commitment is a funny thing, you know? It’s almost like getting a tattoo. You think and you think and you think and you think before you get one. And once you get one, it sticks to you hard and deep.”

Do busy bankers tweet? Yes, they do. Empat tahun setelah Divortiare, Alexandra membuka kembali hidupnya kepada publik melalui akun Twitter-nya @alexandrarheaw. Lembar demi lembar buku ini adalah hasil “mengintip” kehidupannya sehari-hari, pemikirannya yang witty dan sangat jujur, spontan, chaotic, dan terkadang menusuk, yang akhirnya akan bisa menjawab pertanyaan: “Dapatkah kita mencintai dan membenci seseorang sedemikian rupa pada saat bersamaan?”

Twivortiare adalah kisah klasik tentang cinta dan luka, terangkai dalam tweets, mentions, dan DM yang lahir lewat ujung-ujung jemari karakter-karakternya.

.....

Saya nulis review ini setelah membaca Twivortiare sebanyak dua kali; yang pertama baca edisi terbitan NulisBuku, yang kedua baca edisi terbitan GPU. Lho, edisi terbitan GPU kan baru dirilis tanggal 9 Agustus? Soalnya saya ikutan pre-order, biar bisa dapet TTD-nya Ika Natassa. I'm such an avid reader, I know. I don't care, though. :p

Buku ini berisi tentang kumpulan tweets milik Alexandra Rhea Wicaksono, seorang workaholic banker. Namun, di sisi lain ia juga dengan senang, ikhlas, dan sabar menjalani hari-harinya sebagai istri dari Beno Wicaksono, seorang dokter bedah jantung yang jadwalnya bisa ngalahin jadwal Presiden, saking sibuknya! Sounds familiar, huh? Setelah bertemu di Rumah Sakit pada malam lebaran dulu (Divortiare, 2008), Alex dan Beno akhirnya memutuskan untuk rujuk dan kembali menjadi sepasang suami-istri. Alex menuangkan cerita kehidupan sehari-harinya bersama sang dokter melalui akun Twitter-nya, @alexandrarheaw.

Belajar dari pengalaman pahit pada pernikahan pertama mereka yang diceritakan dalam Divortiare, kini Alex dan Beno berusaha mati-matian untuk memperbaiki segalanya di pernikahan kedua ini--saling menguatkan, lebih  pengertian, perhatian satu sama lain, dan yang paling penting, untuk tidak menyerah apabila salah satu mulai merasa lelah--despite all of their differences. Alex pun tiba pada suatu titik di mana ia mulai menyadari bahwa 'to love and hate someone at the same time' does exist. Bukankah orang yang paling kita cintai justru yang paling bisa memberikan rasa sakit begitu dalam?

Twivortiare benar-benar menyuguhkan pengalaman baru dalam membaca. Format tweets--dan itu bikin kecanduan! Once I opened the book, I just couldn't put it down. Tweets-nya Alex yang begitu blak-blakan, jujur, witty, kadang nyerempet bahasan untuk 18+ juga, bener-bener seru buat dilewatkan. Dan saya tau bahwa Alex dan Beno itu nggak nyata, hanya fictional characters aja, but the way Ika Natassa wrote those tweets make them seem sooo real! Bahkan, kalau lagi bengong, kadang-kadang saya kepikiran, "Alex-Beno lagi ngapain ya kira-kira jam segini?" LOL!

Selain mengungkap tentang kehidupan sehari-harinya, Alex juga cukup sering ngasih tips-tips tentang relationship dan dunia kerja, khususnya buat para perempuan. Kadang ada juga berbagai pandangan tentang hidup dari si Dokter Beno yang di-tweet oleh Alex. Tapi, yang sering membuat saya jejeritan sendiri adalah tweets tentang bagaimana hal-hal kecil yang dilakukan oleh Alex-Beno yang membuat pernikahan kedua ini lebih 'bernyawa', bagaimana Beno selalu mengejar Alex setiap istrinya itu memutuskan untuk pergi, bagaimana mereka berdua selalu meletakkan kepentingan satu sama lain di atas apa pun. Pokoknya saya suka deh sama berbagai usaha yang mereka berdua lakukan agar pernikahan kedua ini nggak berakhir seperti yang pertama.

Namun, ada juga yang cukup membuat saya sebal sepanjang membaca buku ini; Alex-Beno itu labil sekali, sih? Barusan aja baikan, eh lalu bertengkar lagi. Dan kebanyakan hal yang menyulut permasalahan di antara mereka itu sepele. Selain itu, di bagian akhir, entah kenapa saya merasa kalau ceritanya berlalu terlalu cepat, kayak mendadak ada yang mencet tombol flash-forward. Tapi, hal-hal tersebut nggak membuat saya kehilangan kesenangan dalam membaca buku ini, kok. Twivortiare benar-benar layak ditunggu buat semua pecinta Divortiare (khususnya groupies-nya Beno!).

Oh ya, sampai sekarang, si Alex masih terus nge-tweet, lho! Go follow her!